ANALISIS

Celaka Jika RI Pikul Biaya Bengkak Kereta Cepat Jakarta - Bandung

CNN Indonesia
Jumat, 29 Jul 2022 07:00 WIB
Pengamat mewanti-wanti pemerintah agar Indonesia tak menanggung 100 persen biaya bengkak proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Pengamat mewanti-wanti pemerintah agar Indonesia tak menanggung 100 persen biaya bengkak proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Khawatir RI Tanggung Biaya Bengkak 100 Persen

Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan khawatir pihak China meminta Indonesia menanggung pembengkakan biaya 100 persen. Hal ini berarti pemerintah 100 persen atau patungan dengan BUMN yang tergabung dalam konsorsium PSBI.

"Yang dikhawatirkan China minta Indonesia menanggung 100 persen. Ada masalah pembengkakan biaya dalam pembebasan lahan, itu takutnya Indonesia yang disalahkan," ucap Anthony.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi, secara hitung-hitungan bisnis seharusnya itu tak terjadi. Minimal, pembengkakan biaya ditanggung oleh pemegang saham secara rata.

Pihak Indonesia idealnya menanggung 60 persen dan China 40 persen. Hal ini sesuai dengan kepemilikan porsi saham.

BUMN Indonesia yang tergabung dalam konsorsium PSBI menggenggam 60 persen saham proyek KCJB dan sisanya dikempit China.

Yang belum jelas, apakah negara akan ikut turun tangan mengatasi masalah ini atau tidak. Sebab, belum tentu BUMN anggota konsorsium punya duit untuk menanggung pembengkakan biaya proyek KCJB.

"Kalau sampai Pemerintah Indonesia menanggung 100 persen ini celaka. Ini merugikan keuangan negara," tutur Anthony.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal seharusnya sebagian besar pembengkakan biaya proyek KCJB ditanggung BUMN yang menjadi anggota konsorsium dan China sebagai pemegang saham. Jadi, Pemerintah Indonesia tak perlu keluar uang banyak lagi untuk proyek tersebut.

"Porsi pemerintah harusnya dikit. Jadi sebagian besar ditanggung pemegang saham. Uang BUMN dan China. Entah mungkin BUMN mengeluarkan obligasi dan lain-lain," terang Faisal.

Kalau memang butuh suntikan PMN lagi, pemerintah sifatnya cuma membantu sebagian kecil. Jangan sampai mayoritas dipikul oleh pemerintah.

Apalagi, KCJB sebenarnya bukan proyek mendesak yang kalau tak diselesaikan akan berdampak negatif pada banyak pihak.

Lebih-lebih, negara juga sedang sibuk menekan inflasi dengan menambah subsidi di tengah kenaikan harga pangan dan energi.

"Masalah APBN bukan cuma mengurus proyek kereta cepat. Apalagi sekarang sedang konsolidasi fiskal. Proyek kereta cepat tidak urgent, tidak seperti belanja covid-19 atau kebutuhan untuk mengendalikan inflasi. Jadi PMN seharusnya hanya sebagian kecil, sisanya BUMN dan China," jelas Faisal.

Awas Mangkrak

Faisal mengingatkan pemerintah dan KCIC untuk segera mencari solusi menyelesaikan masalah pembengkakan biaya proyek KCJB. Jika tidak, maka proyek itu berpotensi mangkrak.

"Pasti berpotensi (mangkrak). Makanya perlu dicari solusi tapi ingat jangan jadinya PMN dikeluarkan banyak. PMN jangan jadi yang utama, cari solusi lain," ujar Faisal.

Senada, Anthony menilai proyek KCJB berpotensi mangkrak. Sebab, 2023 tinggal sebentar lagi.

"Pasti (mangkrak), karena targetnya dipasang 2023. Target juga mundur terus, pertama 2019, lalu 2022, lalu jadi 2023," ujar Anthony.

Selain itu, belum ada kejelasan pihak mana saja yang harus ikut menyelamatkan proyek KCJB. Berapa porsi untuk masing-masing pihak tersebut, apakah mayoritas menggunakan uang negara, apakah BUMN, apakah China, atau semua pihak tanggung renteng menutupi tambahan biaya proyek tersebut.

Cari Investor Baru

Sementara, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan KCIC bisa mencari investor baru untuk menambah modal proyek KCJB. Misalnya, BUMN yang tergabung dalam PSBI melepas sebagian saham ke pihak swasta.

"Salah satunya dengan mencari strategic investor, kalau bisa dari investor domestik," kata Toto.

Konsekuensinya, kepemilikan saham pihak RI di proyek KCJB akan berkurang. Sebagai gantinya, proyek itu akan bisa diimplementasikan.

Toto mengatakan bahaya jika 100 persen pembengkakan biaya proyek KCJB menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia. Sebab, risiko proyek sepenuhnya akan ditanggung negara.

"Karena kalau sepenuhnya disokong APBN maka risiko sepenuhnya di negara, padahal konsep awal bisnis ini adalah B to B (business to business)," jelas Toto.

Semula, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan proyek KCJB hanya US$6 miliar atau setara Rp90 triliun.

Namun jika dihitung dengan potensi pembengkakan biaya, maka total dana yang dibutuhkan untuk membangun KCJB tembus US$7,9 miliar atau Rp118,5 triliun.

Dalam perjanjian awal, sebagian besar atau 75 persen dari nilai proyek KCJB dibiayai oleh CDB dan 25 persen dari pemegang saham. Dengan kata lain, 25 persen itu akan berasal dari BUMN yang tergabung dalam konsorsium dan Beijing Yawan HSR.



(aud/sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER