Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet pun berpendapat yang sama. Menurutnya, kenaikan harga mi memberikan dampak ke inflasi tapi tak sebesar yang diperkirakan. Kecuali jika dibarengi kenaikan mi dibarengi dengan lonjakan harga pangan lainnya.
"Saya kira tekanan terhadap inflasi berpeluang akan menjadi lebih besar apalagi kita tahu bahwa inflasi untuk makanan minuman merupakan salah satu basket inflasi terbesar yang bisa berdampak terhadap pergerakan dari inflasi umum itu sendiri," kata dia.
Bahkan kenaikan inflasi lebih tinggi bakal terjadi, jika kenaikan tak hanya dari sisi bahan makanan, tetapi juga harga yang di atur pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan dilupakan bahwa ketika mi instan ini mengalami kenaikan di saat yang bersamaan beberapa harga seperti misalnya tarif ojek online, kemudian tarif pesawat itu juga mengalami peningkatan, sehingga dari inflasi sisi transportasi juga bisa mendorong kenaikan inflasi ke level yang lebih tinggi bersamaan dengan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga mi instan," tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai meski ada kenaikan inflasi tapi tak akan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Memang bakal ada dampak ke konsumsi rumah tangga yang turun karena kenaikan harga-harga.
Tapi secara keseluruhan diyakini pertumbuhan ekonomi masih bisa capai di atas 5 persen sampai akhir tahun.
Justru Rendy melihat kondisi saat ini bisa dijadikan momentum oleh pemerintah maupun pelaku usaha untuk mengembangkan produksi mi instan dari bahan lain seperti gandum. Salah satu yang dinilai bisa menggantikan gandum adalah sagu.
"Karena sebenarnya beberapa produsen di Indonesia terutama di luar Jawa itu ada yang sudah memproduksi mie instan dengan bahan baku tepung sagu. Untuk itu saya kira ini bisa didalami lebih lanjut apalagi kalau seandainya bisa menjadi alternatif bahan baku mi instan selain gandum," pungkasnya.