Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan 30 persen pasar negara berkembang dan 60 persen ekonomi berpenghasilan rendah berisiko gagal bayar utang.
Dalam pidatonya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), ia menyebut risiko itu muncul dikarenakan kondisi ekonomi yang tengah diambang krisis akibat pandemi, perang Rusia-Ukraina hingga cacar monyet.
SBY menuturkan di pengujung 2021 lalu, semua negara berharap untuk perekonomian dunia yang lebih baik pada 2022. Ini karena sudah banyak orang yang divaksin covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Sehingga kebijakan lockdown di beberapa negara mulai dicabut, bisnis dan sekolah kembali dibuka, serta perjalanan udara yang kembali tumbuh.
"Dan banyak ekonomi, termasuk Malaysia dan Indonesia, sedang rebound. Namun, ketika dunia mulai pulih, kami tiba-tiba dipukul dengan banyak krisis. Ini datang dari pandemi yang bangkit kembali yang menghantam keras di beberapa negara dan dampak dari perang Ukraina," tutur SBY dalam pidatonya yang dikutip, Selasa (16/8).
Selain covid-19 yang kembali muncul dan perang Rusia-Ukraina, muncul masalah lain yaitu cacar monyet, yang dinyatakan sebagai darurat kesehatan global oleh WHO.
Tak berhenti sampai di situ, lanjut dia, perang Ukraina memicu krisis di tiga bidang, yaitu pangan, energi, dan keuangan. Harga gandum, jagung, jagung, minyak goreng, pupuk pun terkerek tinggi.
Lihat Juga : |
"Harga minyak naik secara signifikan, begitu juga harga gas. Beberapa negara diuntungkan dari kenaikan harga beberapa komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara, tapi ini hanya sesaat. Kami melihat inflasi pada titik tertinggi sepanjang masa, baik di negara maju maupun berkembang negara," katanya.
Sementara itu, lanjutnya, utang global mencapai rekor tertinggi lebih dari US$300 triliun. Lonjakan utang tersebut merupakan yang tertinggi sejak Perang Dunia II.
"Kekhawatiran sebenarnya adalah 30 persen pasar negara berkembang dan 60 persen ekonomi berpenghasilan rendah berisiko tinggi mengalami kesulitan utang atau tidak dapat memenuhi pembayaran jatuh tempo," kata SBY.
Sehingga, dari risiko-risiko tersebut, mau tidak mau 100 negara harus mengurangi pengeluaran untuk perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Presiden keenam itu mengatakan untuk beberapa negara berpenghasilan rendah, hal tersebut berarti adanya peningkatan kelaparan dan makanan ketidakamanan, bahkan krisis.
"Dampak sosial dan politik dari semua ini tidak dapat diremehkan. Bulan lalu, IMF memperingatkan bahwa dunia mungkin berada di ambang kehancuran resesi ekonomi, karena AS, Eropa, dan China mengalami pertumbuhan yang jauh lebih lambat dari yang diantisipasi. Ini juga berarti ketidakadilan yang lebih besar," katanya.
Sebab itu, SBY menyarankan pembangunan di mana pun, dalam 15 tahun ke depan harus mengarah pada nol kemiskinan ekstrim, memenuhi kebutuhan dasar manusia dan melindungi keamanan manusia.