Ekonomi Rusia mulai lunglai setelah enam bulan melakukan invasi terhadap Ukraina. Namun, sejumlah analis melihat Negeri Beruang Merah masih memiliki ketahanan di atas ekspektasi.
"Saat ini, penurunan sudah dimulai," ujar mantan menteri ekonomi Rusia pada awal 1990-an Andrey Nechaev seperti dikutip dari CNN Business, Senin (29/8).
Nechaev melihat perekonomian Rusia bisa bertahan salah satunya berkat China dan India yang siap membeli minyak dari negara yang dipimpin Vladimir Putin itu dengan harga murah di tengah sanksi larangan ekspor ke negara barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lonjakan harga minyak dunia juga membawa berkah bagi negara yang penerimaannya bergantung pada komoditas itu.
Badan Energi Internasional mencatat penerimaan Rusia dari penjualan minyak dan gas naik dua kali lipat pada Maret dan Juli tahun ini. Padahal, pengiriman gas ke Eropa anjlok 75 persen.
Sejumlah perusahaan barat yang hengkang juga dengan cepat diganti kehadirannya dengan perusahaan lain. Misalnya, Starbucks menjadi Stars Coffee.
Nilai tukar rubel Rusia terhadap dolar AS juga sempat anjlok ke level terendah pada awal tahun ini setelah negara barat membekukan cadangan mata uang asing Rusia senilai US$600 miliar.
Lihat Juga : |
Namun demikian, rubel mampu bangkit ke level tertingginya sejak 2018. Hal itu berkat kebijakan menaikkan suku bunga bank sentral hingga pengaturan agresif aliran modal.
Setelah inflasi terkendali, bank sentral kembali menurunkan suku bunganya ke level sebelum perang Rusia-Ukraina.
Inflasi Rusia yang sempat mencapai 18 persen pada April juga perlahan turun. Bank sentral memperkirakan inflasi Rusia tahun ini berkisar 12 hingga 15 persen.
Bank sentral juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Rusia tahun ini dari kontraksi sebesar 8 hingga 10 persen pada April menjadi turun 4 hingga 6 persen.
Nechaev juga melihat keluarnya Mastercard dan Visa juga hanya berdampak minim ke pembayaran domestik karena Rusia memiliki sistem pembayarannya sendiri, Mir.
Kendati demikian, Nechaev dan sejumlah analis menilai ekonomi Rusia pada akhirnya akan mengalami stagnasi yang berkepanjangan karena sederet sanksi negara barat.
Biaya hidup yang ditanggung warga Rusia semakin mahal setelah Putin memutuskan untuk menginvansi Ukraina.
Kondisi itu membuat Nechaev khawatir sebab ia melihatnya seperti 10 tahun lalu.
Untuk melawannya, pemerintah Rusia mengumumkan untuk menaikkan gaji minimum dan uang pensiun sebesar 10 persen. Pemerintah juga membeli surat utang senilai US$280 juta yang diterbitkan operator maskapai yang babak belur karena sanksi larangan terbang.
Di sektor teknologi, pada Juni lalu, Menteri Perdagangan AS Gina Raimondi mengungkapkan ekspor semi konduktor Rusia anjlok hingga 90 persen yang akan mengganggu industri komputer dan kendaraan.
"Dampak sanksi akan terasa pelan-pelan daripada pukulan langsung," ujar salah satu pendiri konsultan Macro Advisory Ltd Chris Weafer.