Kondisi serupa juga dirasakan Leman (27). Karyawan swasta di Jakarta ini merasa terdampak jika harga BBM naik.
Menurutnya, harga bahan pokok pun saat ini mahal. Di sisi lain, upahnya tidak mengalami penyesuaian.
"Efek yang paling terasa adalah penurunan daya beli. Ini karena biaya pengeluaran tidak diimbangi dengan pemasukan," kata Leman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upah yang diterima Leman memang di atas Rp3,5 juta per bulan, tapi tidak lebih dari Rp5 juta per bulan. Karenanya, ia harus memutar otak agar bisa bertahan.
Pria berdarah Sunda ini pun saat ini memang mulai menghemat konsumsi. Misalnya, mencari alternatif sumber pangan protein yang lebih murah semisal tahu ataupun tempe dari sebelumnya mengonsumsi daging sapi atau ayam.
Leman juga memilih pindah kost ke daerah pinggiran Ibu Kota demi mendapat harga sewa yang lebih murah.
Malahan, ia khawatir kenaikan harga sembako, BBM, transportasi, dan logistik memicu PHK massal akibat kebijakan perusahaan melakukan efisiensi untuk memangkas biaya operasional. Ia takut kena imbasnya.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah tidak boleh hanya fokus pada 16 juta pekerja dengan upah Rp3,5 juta ke bawah terkait pemberian BLT. Pasalnya, kenaikan harga BBM dirasakan semua golongan, termasuk kelas menengah.
"Mau dia (kelas menengah) memiliki kendaraan pribadi atau tidak, bahkan dia naik transportasi publik, dia akan terdampak dari kenaikan harga BBM,"
Kenaikan harga BBM juga akan menekan konsumsi karena harga-harga yang melambung. Kelas menengah bakal mengorbankan belanja lainnya, seperti pakaian, rumah tangga, dan pangan.
Kebutuhan-kebutuhan itu mau tidak mau ditunda atau dikurangi. Ujung-ujungnya daya beli kelas menengah akan turun.
Sedangkan, ketika kelompok masyarakat kelas menengah ini daya belinya menurun, mereka bisa masuk ke dalam kelompok rentan miskin baru.
"Yang tadinya dianggap kategori kelas menengah, itu dengan kenaikan harga BBM bisa jadi kelompok rentan miskin yang baru," kata Bhima.
Untuk menghindari hal tersebut, menurut Bhima pemerintah memiliki opsi selain memberikan BLT pada kelas menengah. Yakni dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 9 persen.
Kemudian, Pajak Penghasilan (PPh) upah kelas menengah bisa ditanggung oleh pemerintah. "Itu salah satu stimulus untuk menjaga daya beli kelas menengah," kata dia.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan jika bercermin pada 2020, karyawan dengan gaji di atas Rp3,5 juta dan di bawah Rp5 juta per bulan seharusnya juga diberikan BLT.
Saat itu, pemerintah memberikan BLT bagi karyawan swasta yang memiliki gaji di bawah Rp5 juta per bulan dan terdampak pandemi covid-19. Bantuan yang yang diberikan pemerintah itu besarannya Rp600 ribu per bulan yang diberikan selama empat bulan atau totalnya mencapai Rp2,4 juta.
Lihat Juga : |
Oleh karena itu, sambung Yusuf, untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan kebutuhan pokok lain, kelas menengah pun layak mendapat BLT kembali. Terlebih, kenaikan BBM ini menurutnya dapat memicu kenaikan inflasi ke level yang lebih tinggi.
"Nah sayangnya kelompok yang berada di kelompok menengah ini kenaikan pendapatannya saya kira berpotensi lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi kenaikan inflasi yang akan terjadi," papar Yusuf.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kelompok mana saja yang berhak mendapat BLT.
Menurut Yusuf, pemerintah bisa menggunakan data-data terbaru terkait dampak pemberian BLT kepada kelas menengah saat pandemi 2020 lalu.