Roda Manufaktur di Asia Anjlok Karena Covid-19 di China
Aktivitas pabrik atau manufaktur sejumlah negara di Asia merosot pada Agustus 2022 karena kebijakan nol covid-19 di China mengakibatkan penguncian wilayah (lockdown).
Sejalan dengan itu, sektor bisnis merasakan pukulan pada biaya, sehingga meredupkan sinyal pemulihan ekonomi di Negeri Tirai Bambu.
Mengutip CNA, Kamis (1/9), aktivitas manufaktur melemah terlihat dari Jepang, China, Korea Selatan, hingga Taiwan. Pelemahan menandai permintaan pasar yang lesu setelah hantaman pasokan yang berkepanjangan sebelumnya.
Lihat Juga : |
Niat bank sentral AS, The Fed, untuk melanjutkan kenaikan suku bunga acuan lebih agresif juga meredam kondisi bisnis karena ikut memicu kekhawatiran resesi ekonomi di salah satu pasar ekspor terbesar di Asia.
"Pembatasan pandemi China dan ketegangan geopolitik dengan AS terus mengganggu rantai pasokan. Meningkatnya inflasi juga merugikan permintaan domestik di seluruh Asia," ujar Toru Nishihama, Kepala Ekonom Dai-ichi Life Research Institute di Tokyo.
"Ketakutan akan resesi AS juga tak membantu. Ekonomi AS dan China adalah mesin pertumbuhan global, sehingga ketika keduanya goyah, maka menimbulkan masalah bagi bisnis," lanjutnya.
Kemarin, untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) Caixin/Markit sektor swasta China jatuh ke level 49,5.
Level di bawah 50 sekaligus menandai bahwa kontraksi pada pertumbuhan ekspor, setelah kendala permintaan lebih lemah, kekurangan listrik, serta gejolak baru covid-19 di China yang mengganggu produksi.
Di Jepang, aktivitas pabrik juga turun pada Agustus, yaitu ke level 51,5. Bulan sebelumnya, PMI manufaktur Jepang ada di level 52,1.
Begitu pula dengan Korsel yang merosot paling tajam dalam dua tahun terakhir. PMI manufaktur Korsel turun ke level 47,6 pada Agustus dibandingkan 49,8 pada Juli.
Sementara Taiwan, penurunan aktivitas pabriknya terlambat sejak gelombang awal pandemi pada Mei 2020 lalu. PMI manufaktur Taiwan tercatat 42,7 pada Agustus setelah realisasinya 44,6 pada Juli.
"Penurunan permintaan yang nyata berarti bahwa perusahaan mengurangi aktivitas pembelian dan persediaannya," ungkap Direktur Asosiasi Ekonomi di S&P Global Annabel Fiddes, mengomentari output Taiwan.