"Jadi perlu diperluas, bukan hanya masyarakat miskin dan rentan miskin, tapi juga tipis-tipis di level UMR, pekerja informal juga harus dapat perlindungan terkait energi," ujar Abra.
Selanjutnya, pemerintah harus segera menerbitkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Revisi itu akan memuat tentang pembatasan pembelian BBM jenis pertalite. Abra mengusulkan agar kendaraan roda empat alias mobil dilarang membeli pertalite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, hanya motor yang boleh mengonsumsi pertalite di SPBU Pertamina. Hal itu demi menjaga kuota pertalite tidak jebol.
"Kan sekarang kuota pertalite 23 juta kl, diperkirakan jebol 29 juta kl. Kalau pemerintah bisa menyetop penjualan pertalite, maka bisa hemat hingga 70 persen," ucap Abra.
Jika penyaluran pertalite berhasil ditekan, maka subsidi yang harus dikucurkan pemerintah juga otomatis berkurang. Alhasil, APBN akan jauh lebih hemat.
Namun, Abra belum memiliki hitungan secara spesifik berapa pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM.
Tapi yang pasti, skema tertutup dan pembatasan pertalite bisa menjadi solusi jangka panjang pemerintah mengatasi kebocoran subsidi BBM.
Setali tiga uang, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah bisa menerapkan subsidi BBM dengan skema tertutup. Hal ini berlaku untuk pertalite dan solar.
"Mekanismenya bisa dengan sebelum isi dia harus daftar biometrik. Biometrik disinkronkan dengan data siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan. Itu skema tertutup bisa gitu," terang Bhima.
Selain itu, ia mengingatkan pemerintah untuk mengawasi penyaluran solar bersubsidi lebih ketat dari sebelumnya. Sebab, solar subsidi juga bocor ke perusahaan skala besar.
"Kebocoran paling besar juga solar, selama ini dinikmati usaha pertambangan skala besar. Pengawasan harus ditingkatkan," ujar Bhima.
Pemerintah, kata Bhima, harus mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi pencabutan izin usaha kepada industri besar yang bandel membeli solar bersubsidi.
"Harus ada sanksi hingga pencabutan izin usaha apabila terbukti perusahaan itu menggunakan solar subsidi," jelas Bhima.
Sebelumnya, pemerintah mengerek harga BBM jenis pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10 ribu per liter, solar bersubsidi naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, dan pertamax naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Sementara, alokasi subsidi energi naik dari Rp152 triliun menjadi Rp502 triliun karena harga minyak mentah terus melonjak.
Berdasarkan hitung-hitungan Kemenkeu, subsidi energi minimal naik menjadi Rp591 triliun jika rata-rata harga ICP sebesar US$85 per barel. Sementara, jika rata-rata ICP sebesar US$99 per barel, maka subsidi energi tembus Rp605 triliun.
Lalu, subsidi energi akan naik menjadi Rp649 triliun jika rata-rata ICP melebihi di atas US$100 per barel. Jika harga BBM tak naik, Kemenkeu memproyeksi subsidi energi tembus Rp698 triliun.
Demi menekan dampak kenaikan harga BBM, pemerintah memutuskan untuk menambah bansos sebesar Rp24,17 triliun.
Bansos itu diberikan dalam tiga bentuk. Pertama, BLT sebesar Rp150 ribu kepada 20,65 juta KPM.
BLT itu akan diberikan selama empat bulan dengan total Rp600 ribu. Namun, pemerintah menyalurkan bantuan dalam dua tahap kepada KPM.
Masing-masing keluarga akan mendapatkan Rp300 ribu dalam tahap pertama. Lalu, mereka akan kembali mendapatkan Rp300 ribu dalam tahap kedua.
Negara menganggarkan dana sebesar Rp12,4 triliun untuk menambah bansos tersebut.
Kedua, BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan sebesar Rp600 ribu. BLT itu hanya diberikan satu kali kepada 16 juta pekerja.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp9,6 triliun untuk menyalurkan BLT tersebut.
Ketiga, pemerintah memberikan subsidi menggunakan 2 persen dari dana transfer umum, yaitu DAU dan DBH sebesar Rp2,17 triliun untuk transportasi umum, seperti ojek.