Ekonom INDEF Nailul Huda mengibaratkan pemberian BLT BBM hanya sebagai obat penenang bagi masyarakat. Dengan kata lain, bantuan dari pemerintah tak bisa jadi obat permanen atau jangka panjang atas kenaikan harga barang dan transportasi saat ini.
"Jadi penyakit inflasi yang tinggi masih, masyarakat miskin mendapatkan obat penenang berupa BLT. Setelah BLT dibagikan ya masyarakat miskin akan kembali susah untuk mengonsumsi barang-barang kebutuhan pokok yang harganya sudah melambung," katanya.
Ia membenarkan jika kenaikan BBM memang sangat berdampak pada banyak hal, baik langsung maupun tidak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang langsung itu seperti tarif transportasi. Tapi dampak tidak langsungnya banyak. Kenaikan barang bahan makanan misalnya, itu pasti kenaikannya bisa bertahap dan bahkan bisa berbulan-bulan kenaikannya," ujar Nailul.
Lihat Juga : |
Senada, Ekonom Centre of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga BBM akan berimbas pada banyak hal. Tak hanya pangan dan transportasi, tapi juga industri perhotelan.
"Jadi hampir semuanya terpengaruh, makanan, barang industri itu semua terdampak," terang Bhima.
Ia menilai pemberian BLT BBM untuk masyarakat terlalu kecil. Apalagi, bantuan disalurkan setelah BBM naik.
"Jadi sangat tidak cukup dari segi nominal. Secara timing juga tidak pas, harusnya sebulan dua bulan sebelumnya sudah diberikan," katanya.
Selain itu, Bhima berpendapat penerima BLT BBM kurang tepat. Pasalnya, pemerintah mengucurkan BLT kepada penerima program keluarga harapan (PKH).
Padahal, di luar PHK, masih banyak masyarakat kelas menengah atau rentan miskin yang tak masuk sebagai penerima PKH dan butuh bantuan pemerintah setelah harga BBM naik.
Di sisi lain, Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah harus melakukan tiga hal agar BLT BBM ampuh menjadi obat atas kenaikan harga BBM.
Pertama, pemerintah harus cepat menyalurkan BLT BBM kepada seluruh penerima. Kedua, penyaluran bantuan harus tepat sasaran.
Ketiga, pemerintah harus mengevaluasi lagi apakah BLT yang disalurkan cukup untuk membantu masyarakat menengah dan menengah bawah.
Dari tiga hal itu yang paling sulit dilakukan adalah poin kedua. Maklum, sudah jadi rahasia umum bahwa penyaluran BLT tak pernah tepat sasaran.
"Bagi yang dapat mungkin bisa jadi bantalan, tapi yang tidak dapat bagaimana? Masalahnya, kalau kami lihat contoh BPNT itu mayoritas (masyarakat miskin) nggak dapat," jelas Faisal.
Maka dari itu, pemerinta harus mengevaluasi kembali penerima BLT BBM, mulai dari peserta PKH yang sebanyak 20,65 juta orang hingga pekerja bergaji Rp3,5 juta.
(dzu/aud)