Jakarta, CNN Indonesia --
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo khawatir Indonesia bakal menghadapi hiperinflasi tahun ini. Nyatanya, pernyataan itu tak disepakati oleh ekonom dalam negeri.
"Kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," ungkap Bambang dalam Sidang Tahunan MPR RI, Selasa (16/8).
Menurut dia, lonjakan harga pangan dan energi akan membuat inflasi semakin tinggi. Hal itu akan membuat beban rakyat bertambah di tengah pemulihan ekonomi usai pandemi covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, dia menyebutkan hiperinflasi bakal terjadi pada September 2022. Pernyataannya saat itu seakan memberikan sinyal bahwa pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar (BBM).
Benar saja, pemerintah menaikkan BBM di September dan terjadi lonjakan inflasi di bulan yang sama hingga 5,95 persen. Namun, tak sampai terjadi hiperinflasi.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan inflasi Indonesia memang naik akibat kenaikan harga BBM, tetapi masih sangat jauh dari kata hiperinflasi.
"Hiperinflasi sebenarnya nakut-nakutin sih, biasanya hiperinflasi bisa picu gejolak. Cuma sekarang belum ada tanda-tanda kesana. Saya justru melihat ancaman ke Indonesia bukan inflasi atau hiperinflasi, tapi sudah mengarah pada stagflasi," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Suatu negara disebut hiperinflasi jika tingkat inflasi sudah lebih dari 50 persen dalam satu bulan. Dalam hal ini, Indonesia yang inflasi normalnya berada di 4 persen, bisa dikatakan hiperinflasi jika tembus double digit.
"Indonesia masih jauh dari (hiperinflasi) itu. Belum ada tanda-tanda kesana," imbuhnya.
Menurut Bhima, stagflasi jauh lebih berbahaya dan mengancam dibandingkan hiperinflasi. Sebab, hiperinflasi terjadi saat kondisi tertentu, seperti di Indonesia karena kenaikan harga BBM dan barang lainnya yang biasanya terjadi sementara.
Selain itu, hiperinflasi biasanya terjadi karena lonjakan inflasi umum yang berlebihan dan diikuti dengan peningkatan inflasi inti yang menggambarkan sisi permintaan atau daya beli masyarakat ikut naik.
Sedangkan, stagflasi adalah kondisi dimana terjadi lonjakan inflasi karena kenaikan harga barang, tanpa diikuti inflasi inti atau permintaan, sehingga pertumbuhan ekonomi seret.
"Stagflasi naiknya harga barang tidak dibarengi kenaikan sisi permintaan. Kalau hiperinflasi, kondisi inflasi di atas 50 persen dan permintaan tetap tinggi. Jadi, stagflasi lebih berisiko karena ditunjukkan oleh ketidaksinkronan antara output produksi dengan inflasi," jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini yang sedang terjadi di Indonesia. Inflasi melonjak karena kenaikan dari sisi pasokan, biaya bahan baku, biaya angkutan, dan biaya distribusi. Sementara, dari sisi permintaan rendah, tercermin dari inflasi intinya yang landai.
Pada September, inflasi tahunan Indonesia memang tercatat 5,95 persen. Berdasarkan komponennya, inflasi harga yang diatur pemerintah tercatat 13,28 persen, inflasi bergejolak sebesar 9,02 persen, dan inflasi inti hanya 3,21 persen.
Bersambung ke halaman berikutnya...
"Nah itu yang terjadi di Indonesia. Inflasi inti kecil, tapi inflasi energi dan bahan pangan tinggi semua," kata dia.
Bhima menyebutkan bahaya dari stagflasi adalah hilangnya kesempatan kerja yang bakal membuat tingkat pengangguran di dalam negeri meningkat.
Tingkat pengangguran di Indonesia hingga Februari 2022 tercatat 5,83 persen, turun 0,43 persen dibandingkan Februari 2021. Namun, belum kembali ke posisi prapandemi sebesar 5,2 persen di 2019.
Sementara, ada penambahan 4 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya yang berpotensi jadi pengangguran. Lantaran, saat stagflasi terjadi banyak perusahaan yang mengalami kesusahan dan memilih menunda merekrut tenaga kerja.
Dengan kata lain, angkatan kerja yang baru lulus tersebut tak akan ada yang menampung. Situasi ini dinilai sangat berbahaya, karena awal sebuah negara masuk ke jurang resesi dimulai dari siklus tersebut.
"Serapan kerja yang terganggu akibat perusahaan terdampak kenaikan biaya produksi akan menciptakan vicious cycle dimana pendapatan masyarakat terpukul dan akhirnya perusahaan lakukan efisiensi karena permintaan rendah. Dalam pola resesi ekonomi selalu didahului oleh siklus setan ini," imbuhnya.
Karenanya, Bhima berharap pemerintah mewaspadai dan mencegah terjadinya stagflasi di Indonesia. Sebab meski pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, tapi inflasi tetap lebih tinggi di 5,95 persen secara tahunan.
"Jadi belum ada tanda-tanda kesana (hiperinflasi). Lebih kepada stagflasi di depan mata yang harus diwaspadai agar inflasi yang tak sejalan dengan sisi permintaan ini tidak berlangsung lama," jelasnya.
Waspada Angka Kemiskinan Naik
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan kondisi Indonesia saat ini jauh dari hiperinflasi. Sebab, inflasi yang dekati 6 persen ini sudah hampir mencapai puncaknya akibat kenaikan harga BBM.
"Saya kira kondisi Indonesia masih jauh maupun relatif tidak akan masuk ke dalam kategori hiperinflasi," kata Rendy.
Kendati demikian, Rendy tidak memungkiri bahwa inflasi pada September yang tercatat 5,95 persen sudah terlalu tinggi, karena melebihi batas target inflasi maksimal 4 persen. Sehingga, perlu dilakukan langkah antisipasi agar tak berdampak lebih jauh pada perekonomian.
"Lebih jauh yang perlu diwaspadai sebenarnya kenaikan inflasi yang tinggi ini akan berdampak ke perekonomian dalam bentuk menggerus daya beli masyarakat, dan potensi penambahan jumlah orang miskin," jelasnya.
Menurut Rendy, inflasi tinggi saat ini terjadi karena kenaikan harga barang dan BBM paling berdampak pada masyarakat kelas menengah rentan dan bawah.
Daya beli kelompok tersebut akan tergerus dan jika tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan, serta bantuan yang mencukupi dari pemerintah, maka berpotensi besar masuk ke garis kemiskinan.
"Data kemiskinan terutama di September berpotensi akan sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan data kemiskinan di Maret. Apalagi dengan asumsi survei kemiskinan yang dilakukan bersamaan dengan kenaikan harga-harga bahan pangan yang dijadikan acuan penghitungan garis kemiskinan oleh BPS," kata Rendy.
Di sisi lain, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyampaikan hal yang sama. Hiperinflasi dinilai masih jauh dari Indonesia. Sampai akhir tahun, inflasi diperkirakan maksimal berada di level 7 persen.
"Inflasi saat ini terbilang masih aman naik 2 persen (dari inflasi maksimal 4 persen) dibandingkan negara lain naik sampai 5 persen. Sampai akhir tahun inflasi saya prediksi 6-7 persen," jelas Josua.
Menurutnya, kenaikan inflasi tak terlalu tajam dan jauh dari hiperinflasi, karena kenaikan harga BBM yang menjadi pemicu, diredam oleh penurunan kelompok bahan makanan. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan bantalan kenaikan harga BBM dengan memberikan bantuan sosial.
"Yang kita lihat justru sekalipun harga BBM sudah naik, tapi harga pangannya justru turun atau deflasi karena ada panen raya, sehingga membuat harga bumbu-bumbu, cabai dan bawang merah turun. Jadi dikatakan hiperinflasi sih jauh ya," tegasnya.
[Gambas:Video CNN]