ANALISIS

Hiperinflasi Masih Jauh, Stagflasi yang Sudah di Depan Mata

CNN Indonesia
Selasa, 04 Okt 2022 07:00 WIB
Ekonom menilai perekonomian Indonesia masih mampu menghindari risiko hiperinflasi yang dikhawatirkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.
Ekonom menilai perekonomian Indonesia masih mampu menghindari risiko hiperinflasi yang dikhawatirkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA).

"Nah itu yang terjadi di Indonesia. Inflasi inti kecil, tapi inflasi energi dan bahan pangan tinggi semua," kata dia.

Bhima menyebutkan bahaya dari stagflasi adalah hilangnya kesempatan kerja yang bakal membuat tingkat pengangguran di dalam negeri meningkat.

Tingkat pengangguran di Indonesia hingga Februari 2022 tercatat 5,83 persen, turun 0,43 persen dibandingkan Februari 2021. Namun, belum kembali ke posisi prapandemi sebesar 5,2 persen di 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, ada penambahan 4 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya yang berpotensi jadi pengangguran. Lantaran, saat stagflasi terjadi banyak perusahaan yang mengalami kesusahan dan memilih menunda merekrut tenaga kerja.

Dengan kata lain, angkatan kerja yang baru lulus tersebut tak akan ada yang menampung. Situasi ini dinilai sangat berbahaya, karena awal sebuah negara masuk ke jurang resesi dimulai dari siklus tersebut.

"Serapan kerja yang terganggu akibat perusahaan terdampak kenaikan biaya produksi akan menciptakan vicious cycle dimana pendapatan masyarakat terpukul dan akhirnya perusahaan lakukan efisiensi karena permintaan rendah. Dalam pola resesi ekonomi selalu didahului oleh siklus setan ini," imbuhnya.

Karenanya, Bhima berharap pemerintah mewaspadai dan mencegah terjadinya stagflasi di Indonesia. Sebab meski pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, tapi inflasi tetap lebih tinggi di 5,95 persen secara tahunan.

"Jadi belum ada tanda-tanda kesana (hiperinflasi). Lebih kepada stagflasi di depan mata yang harus diwaspadai agar inflasi yang tak sejalan dengan sisi permintaan ini tidak berlangsung lama," jelasnya.

Waspada Angka Kemiskinan Naik

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan kondisi Indonesia saat ini jauh dari hiperinflasi. Sebab, inflasi yang dekati 6 persen ini sudah hampir mencapai puncaknya akibat kenaikan harga BBM.

"Saya kira kondisi Indonesia masih jauh maupun relatif tidak akan masuk ke dalam kategori hiperinflasi," kata Rendy.

Kendati demikian, Rendy tidak memungkiri bahwa inflasi pada September yang tercatat 5,95 persen sudah terlalu tinggi, karena melebihi batas target inflasi maksimal 4 persen. Sehingga, perlu dilakukan langkah antisipasi agar tak berdampak lebih jauh pada perekonomian.

"Lebih jauh yang perlu diwaspadai sebenarnya kenaikan inflasi yang tinggi ini akan berdampak ke perekonomian dalam bentuk menggerus daya beli masyarakat, dan potensi penambahan jumlah orang miskin," jelasnya.

Menurut Rendy, inflasi tinggi saat ini terjadi karena kenaikan harga barang dan BBM paling berdampak pada masyarakat kelas menengah rentan dan bawah.

Daya beli kelompok tersebut akan tergerus dan jika tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan, serta bantuan yang mencukupi dari pemerintah, maka berpotensi besar masuk ke garis kemiskinan.

"Data kemiskinan terutama di September berpotensi akan sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan data kemiskinan di Maret. Apalagi dengan asumsi survei kemiskinan yang dilakukan bersamaan dengan kenaikan harga-harga bahan pangan yang dijadikan acuan penghitungan garis kemiskinan oleh BPS," kata Rendy.

Di sisi lain, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyampaikan hal yang sama. Hiperinflasi dinilai masih jauh dari Indonesia. Sampai akhir tahun, inflasi diperkirakan maksimal berada di level 7 persen.

"Inflasi saat ini terbilang masih aman naik 2 persen (dari inflasi maksimal 4 persen) dibandingkan negara lain naik sampai 5 persen. Sampai akhir tahun inflasi saya prediksi 6-7 persen," jelas Josua.

Menurutnya, kenaikan inflasi tak terlalu tajam dan jauh dari hiperinflasi, karena kenaikan harga BBM yang menjadi pemicu, diredam oleh penurunan kelompok bahan makanan. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan bantalan kenaikan harga BBM dengan memberikan bantuan sosial.

"Yang kita lihat justru sekalipun harga BBM sudah naik, tapi harga pangannya justru turun atau deflasi karena ada panen raya, sehingga membuat harga bumbu-bumbu, cabai dan bawang merah turun. Jadi dikatakan hiperinflasi sih jauh ya," tegasnya.



(ldy/sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER