ANALISIS

Hiperinflasi Masih Jauh, Stagflasi yang Sudah di Depan Mata

CNN Indonesia
Selasa, 04 Okt 2022 07:00 WIB
Ekonom menilai perekonomian Indonesia masih mampu menghindari risiko hiperinflasi yang dikhawatirkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo khawatir Indonesia bakal menghadapi hiperinflasi tahun ini. Nyatanya, pernyataan itu tak disepakati oleh ekonom dalam negeri.

"Kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," ungkap Bambang dalam Sidang Tahunan MPR RI, Selasa (16/8).

Menurut dia, lonjakan harga pangan dan energi akan membuat inflasi semakin tinggi. Hal itu akan membuat beban rakyat bertambah di tengah pemulihan ekonomi usai pandemi covid-19.

Kala itu, dia menyebutkan hiperinflasi bakal terjadi pada September 2022. Pernyataannya saat itu seakan memberikan sinyal bahwa pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar (BBM).

Benar saja, pemerintah menaikkan BBM di September dan terjadi lonjakan inflasi di bulan yang sama hingga 5,95 persen. Namun, tak sampai terjadi hiperinflasi.

Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan inflasi Indonesia memang naik akibat kenaikan harga BBM, tetapi masih sangat jauh dari kata hiperinflasi.

"Hiperinflasi sebenarnya nakut-nakutin sih, biasanya hiperinflasi bisa picu gejolak. Cuma sekarang belum ada tanda-tanda kesana. Saya justru melihat ancaman ke Indonesia bukan inflasi atau hiperinflasi, tapi sudah mengarah pada stagflasi," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Suatu negara disebut hiperinflasi jika tingkat inflasi sudah lebih dari 50 persen dalam satu bulan. Dalam hal ini, Indonesia yang inflasi normalnya berada di 4 persen, bisa dikatakan hiperinflasi jika tembus double digit.

"Indonesia masih jauh dari (hiperinflasi) itu. Belum ada tanda-tanda kesana," imbuhnya.

Menurut Bhima, stagflasi jauh lebih berbahaya dan mengancam dibandingkan hiperinflasi. Sebab, hiperinflasi terjadi saat kondisi tertentu, seperti di Indonesia karena kenaikan harga BBM dan barang lainnya yang biasanya terjadi sementara.

Selain itu, hiperinflasi biasanya terjadi karena lonjakan inflasi umum yang berlebihan dan diikuti dengan peningkatan inflasi inti yang menggambarkan sisi permintaan atau daya beli masyarakat ikut naik.

Sedangkan, stagflasi adalah kondisi dimana terjadi lonjakan inflasi karena kenaikan harga barang, tanpa diikuti inflasi inti atau permintaan, sehingga pertumbuhan ekonomi seret.

"Stagflasi naiknya harga barang tidak dibarengi kenaikan sisi permintaan. Kalau hiperinflasi, kondisi inflasi di atas 50 persen dan permintaan tetap tinggi. Jadi, stagflasi lebih berisiko karena ditunjukkan oleh ketidaksinkronan antara output produksi dengan inflasi," jelasnya.

Menurutnya, kondisi ini yang sedang terjadi di Indonesia. Inflasi melonjak karena kenaikan dari sisi pasokan, biaya bahan baku, biaya angkutan, dan biaya distribusi. Sementara, dari sisi permintaan rendah, tercermin dari inflasi intinya yang landai.

Pada September, inflasi tahunan Indonesia memang tercatat 5,95 persen. Berdasarkan komponennya, inflasi harga yang diatur pemerintah tercatat 13,28 persen, inflasi bergejolak sebesar 9,02 persen, dan inflasi inti hanya 3,21 persen.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Waspada Angka Kemiskinan Naik


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :