Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga harus sangat hati-hati memainkan instrumen suku bunga karena akan memperkecil likuiditas antar bank yang pada akhirnya akan mencekik likuiditas untuk kredit investasi.
Menurut Ronny, BI sebaiknya fokus kepada nominal GDP ketimbang inflasi dalam mempertimbangkan apakah suku bunga naik atau tidak.
Sebab, dalam situasi saat ini, yang dibutuhkan adalah perbaikan performa ekonomi, terutama peningkatan kesempatan kerja untuk menjaga aggregate demand.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, BI menaikan atau menurunkan suku bunga setelah data pertumbuhan ekonomi dirilis. Jika angkanya sesuai prediksi BI, 5,5 persen, maka sebaiknya suku bunga jangan naik dulu karena ekonomi masih butuh uang beredar dalam keadaan normal," ujar Ronny.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan penguatan dolar AS terjadi karena sentimen rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (the Fed) masih akan berlanjut pada November dan Desember mendatang.
Saat ini suku bunga acuan The Fed berada di level 3-3,25 persen, tertinggi sejak krisis keuangan global pada 2008. Josua memproyeksi suku bunga acuan The Fed bisa menembus level 4,5 persen hingga akhir tahun ini.
"Dan itu juga terindikasi dari imbal hasil surat utang AS, US treasury yang juga yield nya sudah naik di atas 4 persen, sehingga kenaikan yield itu juga mendorong penguatan dolar AS," katanya.
Meski begitu, Josua mengatakan rupiah tidak akan melemah hingga menyentuh level Rp16 ribu per dolar AS. Sebab, fundamental ekonomi RI masih cukup baik.
"Jadi artinya secara fundamental mesti ya rupiah tidak berada di level saat ini. Ini (rupiah tembus Rp15.500) lebih karena faktor sentimen ketidakpastian pelaku pasar terkait dengan agresivitas kenaikan suku bunga The Fed," imbuhnya.
Josua mengatakan tingkat depresiasi rupiah relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Ia pun menyebut suplai valas ke dalam negeri berpotensi meningkat. Hal ini karena neraca perdagangan Indonesia masih surplus.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia kembali surplus sebesar US$4,99 miliar secara bulanan pada September 2022. Dengan perkembangan ini, neraca dagang RI surplus 29 berturut-turut.
Lihat Juga : |
"Artinya, itu menjadi faktor fundamentalnya, dengan kinerja ekspor kita yang meningkat karena commodity boom ya, sehingga mendorong surplus neraca perdagangan, yang pada akhirnya harusnya ini membatasi atau pun bisa mendorong peningkatan suplai valas dalam negeri," kata Josua.
Kendati, ia menilai kekuatan nilai tukar rupiah ke depan juga bergantung pada BI menjaga stabilitas.
"Tapi secara fundamental, saya katakan mestinya rupiah tidak di level saat ini, dan di bawah Rp15.500, kurang lebih di Rp15.200 per dolar AS," tandasnya.