ANALISIS

Link and Match Pendidikan dan Industri, Tak Seia Tak Sekata

CNN Indonesia
Jumat, 28 Okt 2022 07:30 WIB
Pengamat menilai link and match dunia pendidikan dan dunia usaha yang tak seia sekata menjadi penyebab tingginya angka pengangguran. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Link and match dunia pendidikan dengan dunia usaha masih jadi masalah klasik yang buntu solusi. Pemerintah sepertinya masih tertatih-tatih mengejar kesuksesan konsep yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tersebut.

Presiden Joko Widodo, pada periode pertama menjabat, bahkan berulang kali menggembar-gemborkan niat merevitalisasi pendidikan kejuruan atau vokasi demi mengatasi ketimpangan kesiapan tenaga kerja.

Gayung bersambut. Muhadjir Effendi yang pada 2017 lalu menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi problem tersebut.

Pertama, penyesuaian kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri. Kedua, pembenahan guru vokasi, di mana pengajar di SMK bisa berasal dari profesional berpengalaman dan tidak melulu dari sarjana strata pertama atau S1.

Ketiga, komitmen pengusaha untuk membantu sekolah kejuruan atau vokasi. Tetapi lagi-lagi, wacana itu isapan jempol belaka. Walhasil, link and match dunia pendidikan dan industri bak pungguk merindukan bulan alias sulit tercapai.

Buktinya, data melansir jumlah pengangguran paling banyak masih berasal dari lulusan SMA dan SMK. Tercatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berasal dari lulusan SMK kian meningkat periode 2017-2021.

Pada Agustus 2017, TPT lulusan SMK sebanyak 1,62 juta orang. Lalu, naik menjadi 1,75 juta orang pada Agustus 2018.

Kemudian, pada Agustus 2019 TPT SMK mencapai 1,73 juta orang, dan Agustus 2020 menjadi 2,32 juta orang. Agustus 2021 lalu, jumlahnya di kisaran 2,11 juta orang.

Sedangkan untuk lulusan SMA, pada Agustus 2017 tercatat sebanyak 1,91 juta juta menganggur. Lalu pada 2018 jumlahnya naik jadi 1,94 juta orang dan pada Agustus 2019 menjadi 2 juta orang.

Jumlah TPT lulusan SMA kembali melonjak pada Agustus 2020 sebanyak 2,66 juta orang, meski turun tipis pada Agustus 2021 jadi sebanyak 2,47 juta orang pengangguran.

Pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menerangkan selama dan setelah pandemi covid-19, jumlah pengangguran terus bertambah karena semakin sempitnya kesempatan kerja.

"Kompetensi angkatan kerja kita pada umumnya rendah. Produktivitas kerja mereka juga rendah. Dunia pendidikan memang belum menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan dunia usaha, sehingga tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK justru paling tinggi," kata Payaman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/10).

Pemerintah seharusnya menyesuaikan kebutuhan dunia bisnis dengan kurikulum pendidikan. Namun, yang menjadi masalah, meski kurikulum sudah disesuaikan, pemerintah seperti lupa menyiapkan tenaga pendidiknya.

"Guru-guru tidak dipersiapkan, tetap mengajarkan dengan cara lama. Mendikbud sudah menyerukan kampus merdeka, menganjurkan sekolah-sekolah bekerja sama dengan dunia usaha. Ada yang sudah tanda tangan MoU. Tetapi, praktik di perusahaan tidak jalan. Guru-gurunya tidak menambah pengetahuan dan pengalaman," imbuh dia.

Setali tiga uang, menurut Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono, sampai kapan pun link and match antara dunia pendidikan dan industri tidak akan beriringan.

"Nggak akan ketemu selama sistem pendidikan ganti menteri ganti sistem. Kita bandingkan saja dengan Malaysia. Dulu, Malaysia belajar ke kita. Sekarang, kita ketinggalan," tegas Aloysius.

Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal menambahkan masalah link and match yang hingga kini belum tuntas, berkaitan dengan kurikulum dan kebutuhan industri.

"Dalam kurikulum perlu ada skill development (pengembangan keahlian), bukan hanya pelajaran teori saja, karena kan lulusan ada dua jalur, mereka yang akan menjadi pekerja dan mereka yang akan menjadi scholars di perguruan tinggi," tutur Faisal.

Sehingga, lanjutnya, perlu ada program magang yang disesuaikan dengan kebutuhan industrinya. "Perlu dikasih jalannya, magang dimana? Kebutuhan industrinya bagaimana?Jadi gak bisa dilepas dia magang di mana saja," jelasnya.

Di sisi lain, masalah ini juga erat kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja formal. Ia menilai sampai saat ini peluang kerja formal masih sangat terbatas.

"Karena lulusan sekolah mereka kan ingin bekerja di sektor formal, mereka punya standar karir sendiri. Berbeda dengan mereka yang pendidikan rendah, mereka kan hanya bekerja di informal saja," katanya.

Oleh karena itu, sudah menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja formal bagi para angkatan kerja.

"Ini yang erat kaitannya dengan strategi kebijakannya di investasi, termasuk di industri, perdagangan, dan keuangan. Jadi, ini masalah lintas sektoral," pungkasnya.

(dzu/bir)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK