
Bea Cukai Sumbagbar Buka Suara Soal Peredaran Rokok Ilegal di Lampung

Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau rokok membuat peredaran rokok ilegal di beberapa wilayah kabupaten/kota di Lampung makin merajalela.
Humas Bea Cukai Sumatera Bagian Barat (Sumbagbar) Ichlas Nasution membenarkan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot dan tembakau iris, peredaran rokok ilegal meningkat.
"Kegiatan barang-barang ilegal seperti rokok ini masih cukup tinggi dalam dua tahun belakangan ini, malah tendensinya ada peningkatan saat kondisi pandemi Covid-19 bahkan hingga saat ini," kata Ichlas kepada CNNIndonesia.com saat ditemui di kantor Bea Cukai Sumbagbar di Jalan Gatot Subroto, Sukaraja, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandarlampung.
Kenaikan tarif CHT ini lantas menjadi peluang bagi produsen rokok ilegal.
"Mungkin kenaikan tarif cukai (CHT) dengan kondisi ekonomi masyarakat di bawah, yang penting bisa ngebul (merokok). Kalau soal rasa nomor dua, menciptakan ceruk pasar rokok ilegal," ungkapnya.
Modus peredaran rokok ilegal di beberapa wilayah kabupaten/kota di Lampung dengan menjual rokok polosan atau tidak dilekati pita cukai, rokok dilekati pita cukai palsu, atau penggunaan pita cukai bekas.
Berdasarkan data dan rekam jejak sejumlah kasus yang telah diungkap, asal-usul rokok ilegal mayoritas berasal dari Jawa. Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan sebagai pintu gerbang Sumatera, ditengarai sebagai pintu masuk penyelundupan gelap rokok ilegal.
Setelah lolos melalui jalur penyeberangan Bakauheni, rokok ilegal itu dibawa melalui jalur darat yakni dengan melintasi jalur tol JTTS. Rokok-rokok ilegal yang diselundupkan, diangkut dengan kendaraan truk. Caranya, disembunyikan dalam tumpukan barang bawaan lainnya.
Kemudian oleh penyelundupnya, rokok-rokok ilegal tersebut disebar atau dipasarkan ke sejumlah kios atau toko di beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.
Sejumlah rokok ilegal berbagai merk yang dipasok dari Jawa tersebut. Pada umumnya, jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) berisi 20 batang per bungkus.
Selain tanpa pita cukai atau polos, rokok ilegal yang paling mudah dan banyak ditemukan di kios/ritel bahkan di toko grosir adalah rokok yang menggunakan cukai tidak sesuai peruntukannya seperti pita cukai 12 batang digunakan untuk isi 20 batang dan pita cukai jenis SKT (Sigaret Kretek Tangan) digunakan untuk rokok jenis SKM.
Ichlas menambahkan peredaran barang ilegal ini berdampak negatif bagi keuangan negara dan perekonomian secara umum. Kerugian itu muncul dari tidak adanya penerimaan cukai dan konsumsi masyarakat yang beralih dari produk legal (resmi) ke produk ilegal yang notabene harganya lebih murah.
Ia pun menilai, peredaran barang ilegal juga dapat mengganggu daya saing ekonomi. Oleh karena itu, penindakan barang ilegal menjadi vital dan target utama.
"Secara nasional, kerugiannya dari barang-barang ilegal ini mencapai puluhan miliar," ujarnya.
Ia menambahkan Kanwil Bea Cukai Sumbagbar sebagai Community Protector mengkhawatirkan mengenai kesehatan masyarakat yang mengonsumsi rokok ilegal.
"Rokok resmi memiliki persentase kandungan tar dalam rokok terukur dan diawasi. Kalau rokok ilegal, kan kita tidak tahu berapa persen komposisinya," terangnya.
Sementara itu, pihak Bea Cukai Sumatera Bagian Barat (Sumbagbar) belum dapat menyimpulkan mengenai keaslian pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai peruntukannya tersebut.
"Untuk mengetahui keaslian atau tidaknya pita cukai dari beberapa jenis rokok yang beredar di lapangan itu, harus melalui penelitian di laboratorium Perum Peruri. Tapi kalau peruntukannya, sudah jelas salah atau tidak tepat," kata Ichlas.