Ukraina Senang G7 Batasi Harga Minyak: Ekonomi Rusia Akan Hancur
Ukraina menyambut baik keputusan negara-negara G7 yang sepakat membatasi harga minyak Rusia senilai US$60 atau sekitar Rp925 ribu per barel pada Jumat (2/12). Ukraina mengatakan keputusan tersebut bakal menghancurkan ekonomi negara yang dipimpin Vladimir Putin itu.
"Kami selalu mencapai tujuan kami dan ekonomi Rusia akan hancur. Itu akan membayar dan bertanggung jawab atas semua kejahatannya, tapi batas harga minyak U$30 akan menghancurkannya lebih cepat," kata Kepala Staf Kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak kepada AFP, Sabtu (3/12).
Keputusan G7 ini sejalan dengan langkah Uni Eropa yang juga setuju membatasi harga minyak Rusia US$60 per barel. Keputusan ini mulai berlaku beriringan dengan embargo Uni Eropa terhadap minyak mentah Rusia mulai Senin (5/12).
Kendati, G7 tidak memutus sepenuhnya perjanjian dengan Rusia. Menghilangnya pasokan dari Rusia akan mendorong lonjakan harga energi baru dan inflasi bahan bakar.
"G7 siap meninjau dan menyesuaikan harga maksimum yang sesuai (dengan mempertimbangkan perkembangan pasar dan dampaknya)," demikian pernyataan G7 seperti dikutip dari AP.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan pembatasan harga itu akan mengurangi sumber pendapatan utama Rusia yang digunakan membiayai perang di Ukraina.
Senada, Perdana Menteri Estonia Raja Kallas berpendapat bahwa melumpuhkan pendapatan Moskow adalah inti menghentikan mesin perang Rusia.
Sekitar 70 hingga 85 persen ekspor minyak mentah Rusia diangkut kapal tanker. Gagasan pembatasan harga ini muncul untuk membatasi operasional perusahaan perkapalan, asuransi, dan perusahaan yang menangani kargo minyak mentah Rusia.
Perusahaan pelayaran dan asuransi utama dunia berbasis di negara G7, maka batas harga akan membuat Moskow sulit menjual minyak dengan harga yang lebih tinggi.
Sementara itu, Putin mengatakan, tak akan menjual minyak di bawah batas harga dan bakal membalas negara yang menerapkan tindakan tersebut. Namun, Rusia justru memberi diskon harga minyak ke sejumlah negara Asia termasuk China dan India.
(skt/wiw)