Polemik Dana Bagi Hasil (DBH) antara Bupati Meranti Muhammad Adil dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus bergulir. Kisruh keduanya diawali protes Adil yang berujung pada perkataan iblis dan setan ke institusi pimpinan Sri Mulyani tersebut.
Adil menilai tak adil DBH yang dikantonginya hanya bertambah Rp700 juta. Padahal, menurut dia, daerahnya merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di Provinsi Riau.
Protes tersebut disampaikan langsung oleh Adil kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman saat Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Pendapatan dan Belanja se-Indonesia pada Kamis (8/12) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hadapan Luky, Adil menjabarkan data produksi minyak Kepulauan Meranti yang mencapai 8.000 barel per hari (bph) dari 13 sumur. Bahkan, tahun depan, Adil melanjutkan targetnya naik jadi 9.000 per barel yang berasal dari 19 sumur.
Dari sisi harga pun, sambung dia, minyak melonjak hingga US$100 per barel. Tetapi, DBH yang diperolehnya memperhitungkan harga minyak US$60 per barel. Hal ini juga yang membuat Adil berang hingga menyebut Kemenkeu diisi oleh iblis dan setan.
"Bagaimana cara perhitungannya tidak pas. Hampir 8.000 bph. Mulai bulan 6 (Juni), sejak konflik Rusia-Ukraina, harga minyak naik tapi kok DBH turun? Untuk bapak ketahui, kami tahun ini hanya menerima Rp115 miliar, naik Rp700 juta saja. Liftingnya naik, asumsi US$100 per barel, tetapi naik (DBH) kok Rp700 juta?" tanya Adil kepada Luky.
Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai sebetulnya, biang kerok kisruh DBH terjadi karena kurangnya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini Kemenkeu dan Pemerintah Kabupaten Meranti.
Lihat Juga : |
Seandainya, koordinasi dan komunikasi antara pempus dan pemkab berjalan baik, mustahil permasalahan di atas mencuat ke permukaan.
"Semestinya jika terjadi kesalahpahaman, pemerintah pusat bisa melakukan konsolidasi, terutama pada daerah yang mendapatkan dana bagi hasil sumber daya alam terkait perubahan ini, sehingga seharusnya kisruh ini bisa dihindari," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/12).
Apalagi, saat ini sudah ada regulasi yang mengatur mengenai DBH, yakni UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Ketentuan ini tidak hanya mengatur mengenai perhitungan, tapi juga kurang bayar DBH itu sendiri.
Dalam hal ini, bila ada provinsi atau kabupaten merasa menerima DBH tidak sesuai dengan perhitungan yang dilakukan, maka bisa menyampaikan ke pempus. Nantinya, pempus bisa membayarkan kembali kekurangan DBH daerah tersebut.
"Artinya, pemerintah daerah harusnya tidak perlu khawatir kalau seandainya ternyata ada perbedaan dalam penghitungan ini, karena kemudian masih bisa didiskusikan kembali dan bila memang terjadi kekurangan pembayaran, pemerintah pusat bisa melakukan pembayaran dana bagi hasil yang kurang di tahun anggaran berikutnya," jelasnya.
Rendy berharap pemerintah bisa bercermin dari kisruh DBH dengan Bupati Meranti dan menjadikan pembelajaran untuk lebih memperkuat koordinasi dengan pemda. Dengan UU HKPD, seharusnya harmonisasi pempus dan pemda bisa berjalan lebih baik.
Ia juga mengingatkan agar protes DBH yang disampaikan Bupati Meranti harus diselesaikan sampai tuntas. Lalu, lakukan sosialisasi kepada daerah lainnya terkait penyelesaian, sehingga apabila ada wilayah dengan persoalan yang sama bisa menyampaikan kepada Kemenkeu tanpa ribut-ribut.
"Menurut saya, untuk menyudahi kisruh ini dan meminimalisir agar kisruh ini tidak menjadi bola liar perlu ada semacam sosialisasi dari kementerian di level pusat, dalam hal ini Kemenkeu dan pemda, dalam hal ini Kabupaten Meranti. Terkait bagaimana kelanjutan dari kasus ini, harapannya tentu ini cepat selesai," imbuhnya.