Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tembus 5,72 persen secara tahunan pada kuartal III 2022, salah satunya ditopang oleh kinerja ekspor.
Dalam hal ini, beberapa komoditas unggulan menjadi andalan dalam menjaga kinerja ekspor seperti batu bara, minyak kelapa sawit (CPO), dan besi/baja.
"Kita lihat bahwa neraca dagang RI surplus US$14,92 miliar, tumbuh 12,58 persen (yoy). Kalau diperhatikan surplus tersebut dari beberapa komoditas unggulan, seperti batu bara US$13,31 miliar, kelapa sawit ekspornya capai US$8,95 miliar, besi baja ekspor US$6,38 miliar," ungkap kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Batu bara sendiri memang mengalami lonjakan harga pada tahun ini imbas perang Rusia-Ukraina. Pesanan batu bara RI kian meningkat, terlebih dari Eropa karena negara-negara di Benua Biru mulai mengaktifkan kembali PLTU. Namun, China masih menjadi pengimpor batu bara terbesar RI.
Mengutip tradingeconomic.com, harga batu bara terus naik sejak perang atau awal 2022. Tercatat, pada Februari 2022, harga batu bara masih di level US$209,5 per ton.
Harga ini terus mendaki hingga menyentuh level tertinggi pada 6 September 2022, yakni US$457,8 per ton. Artinya harga komoditas fosil itu naik lebih dari dua kali lipat.
Namun, memasuki Desember 2022, harga batu bara berada turun menjadi di level US$408 hingga US$413 per ton. Meski begitu harga ini masih jauh lebih tinggi dibanding sebelum perang.
Selain batu bara, harga CPO juga sempat melesat dan menopang ekonomi Indonesia. Tercatat harga CPO terus naik dari 4.778 ringgit Malaysia pada Januari 2022, hingga mencapai puncak tertinggi 7.116 ringgit Malaysia pada 29 April 2022. Sayangnya, harga CPO kembali tergelincir ke level 3.918 ringgit Malaysia per ton pada awal Desember 2022.
Melihat kondisi tersebut, apakah komoditas-komoditas itu masih bisa menjadi andalan di 2023 atau Tahun Kelinci Air?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan lonjakan harga dan ekspor Indonesia masih akan ditopang oleh komoditas-komoditas tersebut.
Menurutnya, batu bara dan CPO akan tetap memainkan peran sebagai penghasil devisa nasional, baik di tahun depan maupun tahun-tahun mendatang.
"Negara seperti China akan menjadi importir utama batu bara nasional, sama seperti tahun-tahun kemarin. Transisi menuju energi bersih membutuhkan waktu puluhan tahun. Jadi peran batu bara masih tetap penting bagi China sebagai sumber energi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (18/12).
Hal yang sama juga berlaku untuk CPO. Ronny mengatakan meski Eropa masih mempersoalkan CPO dari Indonesia, peran CPO masih akan tetap penting sebagai penghasil devisa nasional. Menurutnya, tugas pemerintah saat ini adalah mengupayakan agar pasar Eropa untuk CPO bisa segera diganti dengan pasar yang baru.
Di sisi lain, ia mengatakan lonjakan harga tak terkait langsung dengan ekspor komoditas nasional. Dengan demikian, meskipun harga tidak terlalu melonjak tinggi, aktivitas ekspor komoditas tersebut akan tetap berlangsung.
"Karena selama ini memang demikian. Hanya margin keuntungannya yang berkurang, yang berimbas pada nominal devisa nasional," jelas Ronny.
Kendati demikian, ia mengatakan pemerintah tidak boleh hanya bergantung pada kedua komoditas itu. Ronny menyebut pemerintah dan dunia usaha perlu mengeksplorasi peluang komoditas baru, salah satunya komoditas pasir kuarsa, yang juga banyak di Indonesia.
Menurutnya, komoditas pasir kuarsa memiliki manfaat yang sangat dibutuhkan oleh dunia industri nasional dan internasional. Oleh karena itu, pasir kuarsa sudah mulai dicari oleh banyak pihak.
Ronny mengklaim sejumlah pengusaha asal China yang bergerak di bidang industri pengolahan bahan baku hasil pertambangan mineral bukan logam, sedang berburu pasir yang satu ini di beberapa daerah di Tanah Air.
"Hal itu sangat bisa dipahami karena pasir yang satu ini berguna sebagai bahan penolong untuk sektor industri mulai dari industri ban, karet, semen, beton, keramik, tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, dan lain-lain," ujarnya.
Tidak hanya itu, Ronny juga mengatakan pasir kuarsa bermanfaat untuk industri genteng, metal, dan logam.
"Dan yang tak kalah menarik, Indonesia memiliki cadangan pasir kuarsa yang cukup banyak yang berada di banyak lokasi, mulai dari Kalimantan, Sumatera, sampai pulau Bangka," imbuhnya.
Terkait konsumsi dalam negeri, Ronny mengatakan bukan soal berapa besar daya beli masyarakat Indonesia. Pasalnya, tidak semua komoditas ekspor memiliki pasarnya di dalam negeri. Jadi tidak semua komoditas ekspor yang kehilangan pasar global bisa dialihkan ke dalam negeri.
"Misalnya CPO, jika terlalu banyak supply dalam negeri, harga sawit akan rontok, petani sawit bisa merugi. Sementara, batu bara kebutuhan dalam negerinya terbatas, sehingga pasar global adalah pilihan paling masuk akal, berapapun harganya," ucap Ronny.
[Gambas:Infografis CNN]
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira memproyeksi tren tahun depan harga komoditas mulai alami penurunan karena ancaman resesi berdampak ke permintaan bahan baku, terutama dari negara industri. Harga komoditas juga mengalami supercycle atau rentang fluktuasi yang cepat.
Misalnya soal CPO, baru April-Mei lalu ada kelangkaan minyak goreng karena harga CPO meroket, kemudian di akhir tahun harga CPO alami koreksi minus 10,7 persen secara tahunan.
"Akibatnya pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan komoditas tambang dan perkebunan, harus mencari alternatif barang ekspor yang bernilai tinggi," jelas Bhima.
Ia juga mengatakan porsi manufaktur yang bernilai tinggi terhadap total ekspor harus dinaikkan dari 8,4 persen menjadi 12 persen seperti 2010 lalu. Bhima menyebut porsi manufaktur terhadap total ekspor Indonesia masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing sebesar 53,8 persen, 41,7 persen, dan 27,7 persen.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan komoditas pun akan bergeser menjadi 'green commodity' atau komoditas yang berkaitan dengan upaya transisi energi seperti nikel dan karbon.
Indonesia sendiri punya potensi karbon yang cukup besar. Bahkan Bhiman mengklaim pasar karbon peluangnya mencapai Rp8.400 triliun lebih karena konservasi mangrove dan hutan yang skalanya raksasa.
Menurutnya, daya tawar Indonesia dalam green commodity penting bagi ekosistem mitigasi perubahan iklim di 2023. Adapun untuk green commodity bentuknya bukan pasar ekspor impor fisik, tapi melalui infrastruktur bursa karbon.
"Dalam UU PPSK (Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) kan sudah ada pasar karbon, tinggal dijalankan, lebih cepat dibentuk potensi untuk mendorong ekonomi makin besar," tandasnya.
[Gambas:Video CNN]