Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menegaskan tidak ada istilah no work no pay di Indonesia, seperti yang digaungkan pengusaha bahkan diminta dimuat di dalam peraturan menteri ketenagakerjaan (Permenaker).
Bantahan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri.
"No work no pay nggak ada. Negara ini tidak mengenal istilah no work no pay," tegas Putri dalam konferensi pers Kemnaker yang digelar virtual, Jumat (6/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan saat ini Kemnaker memang sedang dalam tahap identifikasi industri padat karya mana yang terdampak gejolak perekonomian global dan akan menyiapkan regulasinya. Substansi pokok aturan tersebut sudah disiapkan, bahkan dibahas di lembaga kerja sama tripartit nasional (LKS Tripnas).
Namun, tidak ada istilah no work no pay dalam aturan yang tengah digodok tersebut.
"Kalau pun ada kebijakan, fleksibilitas jam kerja, upah, itu harus berdasarkan kesepakatan bipartid antara pengusaha dan pekerja dan itu harus tertulis kesepakatannya, kemudian dicatat di dinas-dinas tenaga kerja. Jadi kami tidak mengenal istilah no work no pay," imbuhnya.
Menurutnya, tidak semua industri padat karya harus mendapatkan fleksibilitas atau perhatian khusus. Putri bahkan mengatakan masih ada industri padat karya berorientasi ekspor yang bertahan.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah agar menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay alias tidak bekerja, tidak dibayar.
Hal itu disampaikan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker pada November 2022 lalu.
Menurutnya, skema ini perlu dilakukan demi mengurangi jumlah orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, ketika industri sedang lesu, pekerja tidak harus terkena PHK.
"Sebab, kalau tidak ada (aturan no work no pay) itu, memang kami dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen, kami tidak bisa menahan. Satu dua bulan masih oke, tapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun, pilihannya ya memang harus PHK massal," jelas Anton saat itu.
(skt/pta)