Masyarakat didorong oleh pemerintah untuk punya mobil listrik. Nah mobil listriknya pakai PLN, PLN pakai pembangkit batu bara. Kontribusi sih (untuk energi hijau) dibandingkan yang lain (kendaraan listrik) gak ngeluarin asap.
Cuma caranya gak elok, Rp80 juta itu gila. Keluar buat kendaraan listrik. Jadi gini loh, jangan disubsidi tapi mekanismenya fiskal, perpajakan, jadi buat mobil listrik tidak dikenakan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) saja.
Ya kurang apa lagi? Istilahnya Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban. Nikmat mana lagi yang hendak kamu dustakan? karena pemainnya itu Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan), Luhut Panjaitan (Menko Marinves) ada di situ (bisnis kendaraan listrik) konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ah gila, terus dikasih fasilitas lagi mobil listrik ini bebas ganjil genap. Sudah banyak. Sudah dikasih keistimewaan. Kalau taksi listrik tidak perlu antre di Bandara Soekarno Hatta ada tempat khusus. Ini dikasih lagi Rp80 juta. Jadi para pejabat oligarki ini kerjanya impor mobil listrik itu untuk dapat subsidi itu.
Yang dibangun di Indonesia? yang dibangun Moeldoko itu apa? Semua dari China di sini di-assembling. Mana ada pabrik mobil listrik di sini, assembling adanya.
Melihatnya gak bisa kotak-kotak gitu, gak bisa kemenhub itu. Jadi sekarang ini tujuan akhirnya adalah menurunkan emisi.
Jadi sumber polusi dari kendaraan itu adalah termasuk yang terbesar dan kita komitmen dengan dunia internasional untuk menurunkan emisi rumah kaca supaya kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat.
Cara untuk menurunkan emisi itu adalah penggunaan kendaraan pribadi harus dikurangi, tidak dirangsang. Keuntungan ekonominya luar biasa karena sudah dihitung ongkos kemacetan itu puluhan triliun ditambah polusinya.
Oleh karena itu cara terbaik, paling efektif dan inklusif adalah dengan menyubsidi transportasi umum. Kalau orang kaya, kalau Menteri, CEO, gak bakal naik KRL. KRL itu apa sih yang ada di Jakarta itu? KRL itu adalah menyambungkan dari pemukiman di Depok, di mana-mana, segala macam itu ke pusat kota, sehingga mereka tidak naik kendaraan pribadi.
Kalau para menteri, para eksekutif kan rumahnya di Gatot Subroto itu, komplek menteri di Kuningan, di Pondok Indah, tidak ada keretanya. Jadi, sekaya-kayanya orang yang naik KRL itu gak ada orang kaya.
Pada umumnya adalah kelas menengah ke bawah, mahasiswa, karyawan, Anda bisa lihat. Kalau orang kaya gak mau umpel-umpelan. Lalu nanti bagaimana caranya Kemenhub bedakan orang kaya dan miskin?
Di sisi lain, semakin banyak orang naik kendaran pribadi, semakin besar subsidi BBM nya. Padahal PSO untuk kereta api itu gak sampai Rp10 triliun. Subsidi BBM berapa ratus triliun? Gak bener ini cara berpikirnya.
Dugaan saya ya, biar APBN cukup dulu. Nah di APBN kita itu belanja makin banyak, untuk ibu kota baru, untuk suntik BUMN yang rugi, segala macam itu. Sementara pendapatannya berkurang, relatif ya, pendapatan sih naik tapi kenaikan belanja itu lebih cepat daripada pendapatan, jadi defisitnya naik.
Nah boleh jadi setiap kementerian diminta untuk menekan PSO sekecil mungkin, untuk alokasi yang lain. Saya yakin Kemenhub itu semangatnya sama seperti saya. Tapi karena tekanan, dicari mana nih buat dikurangi, terus dia mesti menaikkan PNBP, ada target setiap kementerian itu meningkatkan PNBP.
Gak tepat terlalu halus, ini menyesatkan.