Petani Terbelah Soal Ancaman RI-Malaysia Setop Ekspor Sawit ke Eropa
Ancaman Indonesia-Malaysia bakal setop ekspor sawit ke Eropa menuai beragam tanggapan, mulai dari petani hingga pengusaha di Tanah Air.
Ancaman setop ekspor ini imbas dari pemberlakuan UU baru Uni Eropa yang bertujuan melindungi hutan dengan membatasi penjualan minyak sawit. Sebab, Eropa menyimpulkan budidaya sawit menghasilkan deforestasi atau kerusakan hutan yang berlebihan.
Oleh sebab itu, Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia Fadillah Yusof bahkan disebut bakal bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto untuk membahas rencana penyetopan ekspor minyak sawit ke Eropa ini.
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman menyebut langkah ini digagas untuk melawan praktik diskriminasi Eropa terhadap produk sawit.
"Statement akan hentikan ekspor sawit kan dari Deputi PM/Menteri Perladangan Malaysia. Beliau rencana akan bertemu Pak Menko Perekonomian untuk bahas posisi bersama menghadapi praktik diskriminasi oleh UE terhadap sawit," ujar Rizal pekan ini.
Rizal menambahkan Fadillah dan Airlangga bakal bertemu langsung pada awal Februari mendatang.
"Sedang dicari waktu keduanya. Yang pas mungkin awal Februari," katanya.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengkritik keras soal ancaman Indonesia-Malaysia menyetop ekspor sawit ke Eropa ini, dan menilai sikap tersebut berlebihan.
"Sikap Indonesia menyikapi kebijakan UE terlalu berlebihan menurut saya. Saya menganggap itu (ancaman setop ekspor) tidak menyelesaikan masalah dalam negeri, khususnya perbaikan tata kelola," jelas Sekjen SPKS Nasional Mansuetus Darto saat dihubungi.
Kendati, Darto melihat sikap proteksionis RI-Malaysia dan Uni Eropa (UE) adalah hal lumrah. Menurutnya, masing-masing negara punya wewenang untuk mengatur negaranya sendiri tanpa mendikte satu sama lain.
Hanya saja, ia mempertanyakan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika benar menentang kebijakan UE. Darto menilai kebijakan UE itu harus diterima demi memperkuat petani sawit agar memiliki akses pasar.
Ia mengatakan ada 78 persen petani swadaya yang harus menjual ke tengkulak dengan harga murah karena tandan buah segar (TBS) nya dibeli pabrik.
"Kalau mereka punya pasar di UE itu akan membantu mereka bermitra dengan perusahaan dalam negeri, tapi mengapa ditolak Jokowi?" tanya Darto.
Lawan Eropa
Sedangkan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung rencana pemerintah ini sebagai bentuk manuver melawan Eropa.
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengatakan petani sawit sangat setuju jika Indonesia dan Malaysia membangun kesepakatan melawan Eropa, jangan sampai kedua negara ambil posisi masing-masing seperti selama ini.
"Sudah saatnya Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) tegas dalam hal (merespons) aturan-aturan yang dibuat oleh UE. Kalau mereka ribet, ya tinggalkan saja," kata Gulat.
Menurutnya, jika sebelumnya RI-Malaysia adalah pengikut kebijakan atau UU yang disusun Eropa, kini harus mulai berhitung. Gulat menekankan Indonesia harus berhitung siapa yang sebenarnya butuh dengan sawit.
Lihat Juga : |
Ia menegaskan antara supply dan demand harus ada prinsip kesetaraan.
"Menurut saya aturan yang dibuat oleh UE itu sudah masuk kategori pemaksaan. Jika produsen minyak sawit, Indonesia dan Malaysia, sebagai yang dipaksa tidak sepakat, maka opsi stop pengiriman minyak sawit ke UE adalah opsi yang sangat tepat," tegasnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menolak berkomentar soal wacana penyetopan ekspor kelapa sawit ke Eropa oleh RI dan Malaysia.
(lid/asa)