Menurut Budi, diversifikasi investasi yang dilakukan LTH ini sulit dilakukan oleh BPKH. Sebab, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5/2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, diversifikasi investasi yang bisa dilakukan cukup terbatas.
Secara rinci, aturan itu menyebutkan 5 persen dari total investasi dilakukan dalam bentuk emas, 20 persen dalam bentuk investasi langsung, 10 persen investasi keuangan haji, dan SBS tanpa batasan maksimum. Dengan pilihan yang ada, rata-rata yield (imbal hasil) yang didapatkan oleh BPKH adalah 6,2 persen.
Menurut Budi, alternatif investasi itu lebih dimiliki oleh LTH. Misalnya, sekitar tahun 1983 ketika Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) baru didirikan, LTH yang berusia 20 tahun menjadi salah satu investor utamanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, untuk implementasi pengelolaan dana haji juga terdapat perbedaan antara LTH dengan Kementerian Agama dan BPKH. Misalnya, ketika biaya haji di Malaysia pada 2019 sebesar 9.880 ringgit, kenaikan juga terjadi pada 2022 menjadi 12.980 ringgit. Namun, LTH membagi calon jemaahnya dengan kelompok B40 dan non-B40 berdasarkan kondisi ekonomi.
"Kelompok yang 40 persen ke bawah lebih murah (biaya hajinya), selain (B40) itu dapat lebih mahal. Masalah biaya ini juga jadi problem yang dihadapi berbagai pengelola dana haji di berbagai negara," ucap Budi.
Sementara itu Anggota Badan Pelaksana Bidang Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf mengungkapkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang mengatur investasi sangat rigid.
Ia memaklumi kerigidan itu. Pasalnya, dana haji merupakan dana publik.
"Ini kan dana titipan orang banyak, sehingga harus hati-hati. Kita punya pengalaman dana publik yang dikelola Jiwasraya, dikelola Taspen, karena dikelola ugal-ugalan maka investasinya kan jeblok," kata Amri kepada CNNIndonesia, Jumat (3/2) lalu.
Tapi karena kerigidan itu, BPKH tidak leluasa menginvestasikan dana haji. Menurut Amri, aturan hanya mengizinkan investasi langsung sebesar 20 persen.
Menurutnya, ini tidak masuk akal jika dibarengi dengan klausul tanggung renteng yang tertuang dalam Pasal 53 UU 34/2014.
"Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya," demikian bunyi Pasal 53 (1) UU 34/2014.
Ia menambahkan hal ini akan membuat lembaga keuangan publik dalam kondisi dilema. Di satu sisi mereka dituntut mendapatkan keuntungan besar supaya dana haji yang dikelola bisa memberikan manfaat besar ke jemaah. Di satu sisi lain, BPKH harus berhati-hati supaya investasi yang dilakukan tidak malah buntung.
"Aturan proses pengambilan keputusan BPKH harus mendapat approval dari Dewas. Beda dengan BPJS, BPJS itu direct investment yang kategori high risk hanya (diperbolehkan) 5 persen karena risikonya lumayan besar," ungkapnya.
(cfd/agt)