Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memperkirakan nilai manfaat dana haji bisa habis apabila pemerintah tidak menaikkan porsi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini.
Hal itu menjadi pertimbangan Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan BPIH tahun ini naik dari Rp98,38 juta menjadi Rp98,89 juta dengan peningkatan porsi Bipih dari 40,54 persen menjadi 70 persen atau dari Rp39,88 juta menjadi Rp69,19 juta.
Sementara, porsi BPIH yang ditanggung nilai manfaat alias imbal hasil kelolaan dana haji turun dari 59,46 persen (Rp58,39 triliun) menjadi 30 persen (Rp29,7 triliun).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita hitung berdasarkan hitungan kita, kalau memang kita harus memenuhi asumsi Bipihnya itu nilainya sama kayak tahun lalu, itu kita hitung, simpanan hasil investasi yang kita dapatkan akibatkan tidak berangkat dari 2020-2021 akan tergerus dan akan habis di 2025," kata Ketua BPKH Fadlul Imansyah di Jakarta, Selasa (24/1) lalu.
Namun, hal itu hanya berlaku jika pada 2023-2024 pemerintah menggunakan persentase yang sama, meskipun BPIH secara akumulatif meningkat.
Secara berurutan pada 2018-2022, BPKH mampu meraup nilai manfaat sebesar Rp5,7 triliun; Rp7,56 triliun; Rp7,43 triliun; Rp10,52 triliun; dan Rp10,08 triliun.
Mengingat tidak ada pemberangkatan haji pada 2020-2021, BPKH memang mencatat akumulasi saldo nilai manfaat hingga 20 triliun.
 Nilai manfaat dana haji yang dikelola BPKH pada 2018-2022 cenderung meningkat. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani). |
Namun, jika porsi nilai manfaat yang digunakan tahun ini serupa dengan periode sebelum pandemi dan jumlah jemaah yang berangkat sekitar 200 ribu, maka BPKH butuh sekitar Rp12 triliun hingga Rp13 triliun setiap tahunnya.
Sementara, rata-rata perolehan nilai manfaat BPKH hanya berkisar Rp10 triliun per tahun.
"Asumsi tadi jika 2021 akhir terdapat Rp20 triliun saldo penumpukan akibat ketidakberangkatan (haji) 2020-2021, maka 2022 sudah diambil saldo simpanannya (Rp5-6 triliun) menjadi sisa sekitar Rp15 triliun," kata Fadlul dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VIII DPR di Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (26/1) lalu.
"Kemudian di 2023 asumsi (jumlah jemaah) dua kali lipat, yang dialokasikan maka Rp12 triliun. Maka otomatis mengambil simpanan yang dipupuk sebesar Rp12 triliun, maka saldonya itu relatif di kisaran Rp3 triliun," sambungnya.
Sisa dana dengan kisaran Rp3 triliun ini akan dialokasikan untuk keberangkatan jemaah pada 2024. Fadlul mengasumsikan jika tidak ada perubahan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), maka akan terjadi kekurangan sebesar Rp9 triliun.
"Asumsi tanpa ada kenaikan BPIH maka artinya 2024 dengan biaya (nilai manfaat) sebesar Rp12 triliun, ada sekitar Rp9 triliun yang diambil dari dana pokok pengelolaan yang selama ini dikelola. Ini dengan asumsi memasukkan semua nilai manfaat tahun berjalan," ucap Fadlul.
Dalam kesempatan terpisah, Anggota Badan Pelaksana Bidang Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf mengingatkan pada 2027 ada dua kali keberangkatan haji. Hal ini juga perlu diperhitungkan.
"Untuk menjaga kesinambungan, nilai manfaat yang rata-rata Rp10 triliun itu sekitar 50 persen-60 persen digunakan untuk top up (menutup BPIH). Jadi tidak boleh lagi diambil dari akumulasi nilai manfaat tahun lalu. Kalau mau dipakai subsidi atau top up, itu cukup dari nilai manfaat tahun berjalan. Jangan lagi kekurangannya diambil dari akumulasi," tuturnya.
Jika nilai manfaat yang digunakan lebih sedikit dari imbal hasil yang diperoleh, maka angka ini bisa menambah nilai dana kelolaan. Artinya, angka yang diinvestasikan BPKH akan semakin tinggi dengan harapan yield yang semakin tinggi pula.
Selain itu, menurut Amri, jika penggunaan nilai manfaat terus berlangsung eksesif maka aset yang dimiliki BPKH akan semakin turun dan keberlanjutan untuk jemaah tunggu akan semakin mengecil.
"Kalau ini kan enggak, kita masuk (jemaah baru) 300 ribu itu Rp25 juta bayarnya. Itu cuma (sekitar) Rp5 triliun. Masuk Rp5 triliun, tapi keluarnya Rp12 triliun, itu kan aset kita turun," terangnya.
Bersambung ke laman berikutnya...
Simulasi Kenaikan Biaya Haji
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras Adha mengungkapkan nilai manfaat dana haji bisa tergerus apabila porsi nilai manfaat yang digunakan untuk menanggung BPIH terus-terusan lebih besar dari Bipih yang ditanggung jemaah.
Apabila itu dibiarkan, hal itu bisa mengganggu keberlanjutan keuangan haji ke depan karena nilai manfaat yang sebenarnya diperoleh dari jemaah tunggu lebih banyak digunakan oleh jemaah berangkat.
"Artinya, nilai manfaat yang seharusnya untuk jemaah tahun-tahun berikutnya digunakan untuk jemaah tahun tersebut, sehingga nanti di masa mendatang lama-lama nilai manfaat itu justru tidak bisa terpakai lagi oleh jemaah akan datang sebab sudah terpakai di masa kini," ujar Izzudin kepada CNNIndonesia.com.
Namun, sambungnya, bukan berarti pemerintah bisa serta merta menaikkan porsi Bipih yang ditanggung jemaah tahun menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun lalu seperti yang diusulkan Kementerian Agama (Kemenag).
"Menurut kami terlalu drastis," ujarnya.
Berdasarkan kajian pada awal 2022, lanjutnya, Indef mengusulkan sejumlah opsi agar keberlanjutan dana haji terjaga.
Pertama, Bipih naik 6 persen per tahun dengan asumsi nilai manfaat yang diperoleh tumbuh 8 persen per tahun. Artinya, BPKH harus berupaya meningkatkan imbal hasil (yield) investasi yang selama lima tahun terakhir maksimal hanya 6,88 persen.
Namun, menurut Izzudin upaya meningkatkan investasi juga menghadapi tantangan. Pasalnya, BPKH tidak bisa leluasa memilih instrumen investasi dengan risiko lebih tinggi karena terkendala ketentuan yang mewajibkan mereka menanggung renteng apabila investasi rugi.
Hal itu tertuang dalam Pasal 53 tahun Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji .
"Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya," demikian bunyi Pasal 53 (1) UU 34/2014.
 Rata-rata imbal hasil dana haji yang dikelola BPKH berkisar 6 persen hingga 7 persen per tahun. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani). |
Tak ayal, penempatan investasi BPKH cenderung pada instrumen berisiko rendah hingga sedang. Hal itu tercermin dari porsi penempatan deposito dan investasi tahun lalu.
Sepanjang tahun lalu, mayoritas dana haji ditempatkan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yakni Rp114,96 triliun dari total dana kelolaan, Rp167 triliun.
Sementara, sisanya tersebar di entitas asosiasi Rp1,3 triliun, investasi langsung dan investasi lainnya Rp779,06 miliar, investasi emas Rp425 jut dan deposito perbankan Rp48,96 triliun.
Kedua, Bipih naik 12 persen per tahun dengan asumsi yield investasi tumbuh 6,5 persen atau moderat. Ketiga, Bipih naik 18 persen per 3 tahun dengan asumsi yield imbal hasil naik 7,5 persen.
Jika menggunakan skenario tersebut maka kenaikan Bipih tahun ini tidak perlu sampai dua kali lipat.
Dengan skenario pertama, secara nominal, biaya perjalanan haji yang ditanggung jemaah tahun ini kenaikannya menjadi Rp42,27 juta atau 42,74 persen dari total BPIH yang diusulkan Kementerian Agama Rp98,89 juta.
Kemudian, skenario kedua, Bipih naik menjadi Rp44,66 juta atau 45,16 persen dari total BPIH.
Pada skenario ketiga, Bipih naik menjadi Rp47,06 juta atau 47,58 persen dari total BPIH. Namun, kenaikan Bipih baru akan terjadi setiap tiga tahun.
Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) Budi Prasetyo menjelaskan simulasi sederhana yang dilakukan pihaknya.
Jika pemerintah akhirnya bersepakat menggunakan skenario 55:45 dengan 55 persen dari BPIH ditanggung jemaah, maka keberlanjutan dana haji bisa mencapai 15 tahun dengan asumsi imbal hasil pengelolaan dana mencapai 10 persen.
Dengan skenario ini, jemaah diperkirakan harus membayar Rp54,4 juta, jika dikurangi Rp25 juta dari setoran awal, maka pelunasannya sebesar Rp29,4 juta.
Namun, jika pemerintah bersikukuh menggunakan perhitungan 70:30 dengan beban jemaah sebesar Rp69 jutaan, maka keberlanjutan dana haji itu bisa lebih panjang.
"Ini hitungan kasar kami jadi bisa saja overestimate atau underestimate," kata Budi dalam seminar daring, akhir Januari lalu.
Budi menjelaskan komponen pembagian nilai manfaat dan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditanggung jemaah ini sangat kompleks.
"Kita tentu ingin pembiayaan ini terus berlanjut jangka panjang sehingga sustainability dana haji itu berlanjut dan kita tidak terkena masalah keuangan yang signifikan," katanya.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan formulasi kebijakan yang tepat. Tidak hanya berkaitan dengan pembagian BPIH, namun juga investasi, efisiensi biaya, dan pengelolaan keuangan.
"Ini akan jadi PR besar agar dana haji yang dikelola bisa sustain dan memberikan manfaat yang besar," ucapnya.
Lebih lanjut, Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Kahfi mengungkapkan besaran BPIH dan Bipih 2023 masih dikaji dan baru ditetapkan DPR dan pemerintah pada 14 Februari mendatang.
"Tanggal 14 Februari kita (komisi) tetapkan," ungkapnya lewat keterangan resmi.
[Gambas:Video CNN]