"Kalau mau return tinggi, ada risiko yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan dana haji ini harus memperhatikan governance yang prudent, sehingga meski mengejar target return, tetapi risiko bisa di-manage," ucapnya.
Selain itu, diperlukan alternatif kebijakan antara kuota haji dan persentase financial assistance yang diberikan kepada jemaah.
Ia berkaca kepada mekanisme Lembaga Tabungan Haji (LTH) Malaysia yang membagi calon jemaah pada kelompok 40B. Kelompok 40 persen terbawah ini nantinya mendapat nilai manfaat lebih besar dari yang lain. Artinya, tidak semua jemaah menanggung beban biaya yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Terlebih, dana haji yang dikelola BPKH juga memiliki risiko terpapar oleh nilai mata uang asing. Saat ini, BPIH dibayarkan dalam kurs riyal atau dolar Amerika Serikat (AS). Ditambah dengan keberadaan inflasi, nilai setoran awal yang diberikan calon jemaah semakin rentan terpapar risiko.
Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Muhammad Nur Rianto Al Arif juga menilai klausul soal tanggung renteng menyebabkan ketakutan bagi pengurus BPKH. Akibatnya, investasi yang dipilih pun cukup konservatif.
"Ilustrasinya, BPKH misalkan investasi ke 10 portofolio dan mampu menghasilkan nilai manfaat dua digit. Tapi jika ada 1 atau 2 portofolio saja yang rugi, maka BPKH harus tanggungrenteng," kata Arif ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (27/1) lalu.
Bahkan, senada dengan Budi, pejabat BPKH periode pertama dinilai risk averse atau cenderung menghindari risiko. Hal ini menyebabkan BPKH cenderung mendapatkan dana pada pos aman.
Secara jangka panjang, BPKH perlu menghitung net present value (NPV) atas penempatan dana yang telah dilakukan. Discount factor yang perlu masuk perhitungan ialah suku bunga secured overnight financing rate (SOFR) pengganti Libor dan tingkat inflasi di Arab Saudi.
Arif menilai variabel dari faktor eksternal ini perlu digunakan sebab alokasi hasil kelolaan dana haji untuk menyelenggarakan ibadah haji di Saudi.
"BPKH harus bermain lebih agresif dengan berani menempatkan dana efek-efek syariah yang dapat memberikan return lebih tinggi, selain penempatan dana pada surat berharga syariah baik yang diterbitkan pemerintah maupun Bank Indonesia," paparnya.
Menurut Arif, profil risiko BPKH harus segera bergeser dari penghindar menjadi pengambil risiko yang moderat. Selain itu, BPKH harus berani melakukan investasi riil pada berbagai sarana dan prasarana pelaksanaan ibadah haji.
Investasi riil ini misalnya pemondokan, bus jemaah, dan katering dapat dilakukan BPKH untuk melindung nilai biaya penyelenggaraan ibadah haji (cost hedging).
Langkah lain yang penting dilakukan BPKH adalah membentuk ekosistem haji dengan stakeholder lain seperti Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag.
Nantinya, kerja sama berbagai lembaga lain ini dapat mendorong pengelolaan aset-aset yang telah diinvestasikan BPKH.
Sinergi BPKH, Ditjen PHU, dan stakeholder lain akan membentuk ekosistem haji yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat. Tak hanya berupa nilai materi, tetapi juga bentuk lainnya.
"Maka itu, BPKH harus berkoordinasi efektif dengan Badan Pemeriksa Keuangan maupun aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Ini untuk memitigasi risiko hukum atas penempatan dan investasi dana," tegas Arif.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis mengungkapkan BPKH dibentuk untuk mengelola dana haji agar mendapatkan imbal hasil yang lebih kompetitif. Untuk itu, keputusan menginvestasikan 70 persen dana haji pada sukuk dianggap terlalu mudah.
"Kalau selama ini dia hanya investasi ke Surat Utang Negara (SUN), itu kan tidak sulit. Untuk apa ada badan kalau cuma investasi ke SUN? Dengan dibuat badan ini kan dia ada ahli investasi, ahli risiko, ada manajer investasi, supaya mendapat hasil kompetitif," kata Iskan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (2/2) lalu.
Iskan pun memandang target imbal hasil Rp10 triliun per tahun yang ditetapkan oleh BPKH terlalu kecil. Seharusnya, dengan persentase investasi langsung 20 persen atau sekitar Rp30-Rp40 triliun, imbal hasil yang didapat akan jauh lebih besar.
"Kalau dia cuma investasi langsung Rp1 triliun kan kecil banget, tidak seimbang dengan dia sebagai badan kan dia harusnya punya sistem," tutur Iskan.
Tak hanya itu, Iskan melihat BPKH juga memiliki ketakutan berlebihan terhadap klausul tanggung renteng.
Ia menilai jika investasi yang dilakukan sudah menunaikan prinsip-prinsip prudent tidak akan membuat masalah. Kalaupun terjadi kerugian karena faktor global atau lainnya, selama bukan akibat moral hazard, Iskan menilai tidak akan ada masalah.
Namun demikian, ia mengakui pihaknya berencana untuk mencabut klausul tanggung renteng tahun ini.
"Klausul tanggung renteng ini juga rencananya akan kita cabut ya, sebetulnya memang agak aneh ada klausul ini, yang penting kan dia melakukan good governance, pengelolaan yang benar, yang prudent, perangkat-perangkatnya kan sudah ada. Selama tidak melakukan moral hazard kan sudah prudent," paparnya.