Jakarta, CNN Indonesia --
Silicon Valley Bank (SVB) kolaps pada Jumat (10/3) pagi waktu Amerika Serikat (AS). Kebangkrutan bank spesialis pemberi pinjaman startup itu terjadi setelah 48 jam mengalami krisis modal.
Regulator California akhirnya memutuskan untuk menutup SVB dan menempatkannya di bawah kendali US Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Salah satu faktor kebangkrutan SVB adalah kenaikan suku bunga agresif bank sentral AS (The Fed) selama setahun terakhir. Untuk menopang neraca, SVB menjual US$2,25 miliar saham baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika suku bunga mendekati nol, bank-bank memborong obligasi bertenor panjang yang tampaknya berisiko rendah. Namun, ketika The Fed menaikkan suku bunga demi mengendalikan inflasi, nilai aset-aset tersebut jatuh.
Hal ini membuat bank-bank, termasuk SVB menanggung kerugian yang belum direalisasi. Tercatat, SVB telah kehilangan US$1,8 miliar obligasi yang nilainya hancur imbas kenaikan suku bunga acuan.
Keruntuhan bank yang berbasis di California itu pun memicu kepanikan di antara perusahaan modal ventura utama yang dilaporkan menyarankan perusahaan untuk menarik uang mereka. Maklum, SVB merupakan bank terbesar peringkat 16 di AS pada 2022 dengan kepemilikan aset sekitar US$209 miliar.
Pada akhir 2022, SVB memiliki aset senilai US$209 miliar dan deposito sekitar US$175,4 miliar. Namun, menurut FDIC, sebanyak 89 persen simpanan di SVB atau senilai US$175,4 miliar tidak diasuransikan. Nasib dana ini akan ditentukan kemudian.
Lebih jauh, keruntuhan SBV pun membuat sederet startup raksasa global yang memiliki sejumlah uang kas operasionalnya di bank tersebut terancam merugi. Adapun beberapa perusahaan itu seperti Vox Media, Roblox, Unity, Roku, hingga Circle.
Penutupan SVB juga bikin startup dan perusahaan modal ventura China panik. Pasalnya, SVB selaku pemberi pinjaman adalah jembatan antara modal AS dan pengusaha China.
Asisten Profesor di Institut Keuangan Shenzhen Zheng Lei mengatakan banyak perusahaan China yang terdaftar di AS telah menerima investasi dari dana modal ventura SVB. Dengan kata lain, keruntuhan SVB bakal mempengaruhi startup China.
Namun, Zheng mengatakan perusahaan teknologi China yang terdaftar di AS tidak akan terpengaruh secara langsung jika mereka tidak menyetor dana ke SVB.
Sementara itu, Fu Jian selaku Direktur Firma Hukum Henan Zejin mengatakan SVB adalah pilihan tepat untuk mengakses pasar modal AS. Menurutnya, bank tersebut tidak hanya menyediakan sumber daya bisnis, melainkan peluang jejaring yang luas.
"Runtuhnya SVB telah menurunkan kepercayaan perusahaan China pada bank asing, sehingga mereka akan lebih berhati-hati saat mempertimbangkan dana dolar AS," kata Fu, dikutip dari Channel News Asia, Senin (13/3).
Memang, sejauh ini tidak ada perusahaan teknologi atau modal ventura China yang secara terbuka mengakui menderita kerugian akibat kebangkrutan SVB. Namun, mereka tetap was-was.
Kebangkrutan SVB bahkan menjadi trending topic di media sosial Weibo. Para netizen China khawatir bakal terjadi krisis keuangan global imbas insiden tersebut.
Terlebih, sebagian besar perusahaan teknologi dan bank di China masih menghindari komentar publik. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan pemodal ventura dan perusahaan rintisan lain.
Belakangan, pemerintah Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk mengucurkan dana talangan (bailout) kepada SVB. Dengan begitu, semua deposito sekitar US$175,4 miliar bisa kembali.
Kegagalan SVB adalah yang terbesar usai Washington Mutual bangkrut pada 2008. Saat itu peristiwa kebangkrutan ini memicu krisis keuangan yang melumpuhkan perekonomian selama bertahun-tahun.
Lantas, bagaimana dampak kebangkrutan SBV kepada sektor keuangan dan startup di Indonesia?
Ekonom Bank Permata Josua Pardede dampak negatif penutupan SVB ke sektor perbankan RI cenderung terbatas.
Selain itu, kondisi sektor keuangan terutama perbankan di Indonesia saat ini cenderung solid jika mempertimbangkan kondisi likuiditas yang longgar (alat likuid/dana pihak ketiga dan alat likuid/non core deposit di atas threshold-nya).
"Kondisi solvabilitas perbankan RI juga masih solid sehingga dampak rambatannya ke sektor keuangan terutama perbankan Indonesia cenderung terbatas," ujar Josua kepada CNNIndonesia.com.
Pada perdagangan Senin (13/3), mata uang Asia termasuk rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS. tercatat rupiah menguat 73,5 poin atau 0,48 persen ke level Rp15.376 per dolar AS.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Menurut Josua, hal ini sejalan dengan sentimen pasar yang membaik setelah pemerintah AS mengumumkan akan mengucurkan bailout untuk meredakan kekhawatiran atas runtuhnya SVB. Upaya ini mengurangi permintaan terhadap safe-haven asset.
Regulator keuangan AS meyakinkan para deposan bahwa uang mereka aman di tengah-tengah bangkrutnya SVB.
Josua menyebut ada ekspektasi bahwa langkah-langkah darurat AS itu akan membatasi guncangan dari kegagalan SVB, termasuk risiko penularan ke perbankan dan sektor keuangan secara keseluruhan.
Setelah bangkrutnya SVB, kata dia, pelaku pasar juga saat ini memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada rapat FOMC Maret ini. Padahal, sebelumnya pasar memperkirakan The Fed akan mengerek suku bunga hingga 50 bps.
Sementara itu, dampak dari bangkrutnya SVB secara umum belum akan mendorong pelemahan produk domestik bruto (PDB) Indonesia secara umum, kecuali bila krisis perbankan ini menjadi trigger lanjutan dari krisis global, seperti 2008 silam.
"Dari kondisi tersebut, regulator di AS sepertinya mempunyai early warning system tersendiri agar kasus 2008 tidak terluang, sehingga potensi krisis lanjutan relatif cukup kecil untuk kasus ini," kata Josua.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah, dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dapat menjadikan kasus SVB sebagai pelajaran penting terkait concentrated risk serta risiko dari kepemilikan obligasi di sektor perbankan. Sebab, bila tidak dikelola dengan baik, berpotensi mendorong krisis likuiditas perbankan.
Ihwal dampak kebangkrutan SVB terhadap startup di Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan hal itu berpotensi membuat perusahaan rintisan seret modal.
Bahkan lebih parah lagi memicu kembali gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Efisiensi besar-besaran di startup yang secara langsung dan tidak langsung terkait pendanaan dari SVB dan modal ventura afiliasinya," kata Bhima.
Meski demikian, terkait seberapa besar potensi PHK itu pada startup di Indonesia, Bhima belum bisa menyebut secara pasti. Sebab, harus dihitung terlebih dahulu berapa startup RI yang mendapat pendanaan dari SVB atau modal ventura afiliasinya.
Setali tiga uang, Pengamat Ekonomi Digital dari Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda juga menyebut startup di Indonesia berpotensi semakin sulit mendapatkan pendanaan setelah SVB ditutup. Menurutnya, porsi pendanaan dari AS ke startup di Tanah Air cukup besar.
"Saya rasa dampaknya adalah semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Hal tersebut juga akan semakin berat mengingat porsi pendanaan dari AS ke startup digital kita cukup besar," kata Nailul dikutip dari Antara.
Oleh karenanya, ia mewanti-wanti agar sumber pendanaan dari dalam negeri untuk startup perlu ditingkatkan lagi guna mengantisipasi dampak tutupnya SVB. Apalagi, India juga sudah lebih dahulu memberikan perhatian untuk mengantisipasi pelemahan pendanaan startup.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun turut buka suara soal penutupan SVB. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan itu diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.
"Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat," kata Dian melalui keterangan resmi.
Ia mengklaim Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola, serta perlindungan nasabah. Menurut Dian, upaya tersebut telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil.
Hal ini tercermin dari kinerja industri perbankan RI yang tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global.
Berdasarkan data OJK, pada saat ini kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik. Lihat saja, alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid dana pihak ketiga (AL/DPK) di atas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen.
Angka ini di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi DPK yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat, sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori 'Bank Dalam Resolusi', yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.
Dian mengungkapkan OJK terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), baik secara langsung maupun melalui KSSK dalam rangka mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi.
Selain itu, OJK juga meminta perbankan untuk melakukan langkah-langkah strategis antara lain meningkatkan fungsi maupun peran Asset & Liability Committee dalam melakukan pengelolaan aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, melakukan stress test yang komprehensif, mengkaji serta memperbaharui recovery dan resolution plan secara berkala.
[Gambas:Video CNN]