Menurut Josua, hal ini sejalan dengan sentimen pasar yang membaik setelah pemerintah AS mengumumkan akan mengucurkan bailout untuk meredakan kekhawatiran atas runtuhnya SVB. Upaya ini mengurangi permintaan terhadap safe-haven asset.
Regulator keuangan AS meyakinkan para deposan bahwa uang mereka aman di tengah-tengah bangkrutnya SVB.
Josua menyebut ada ekspektasi bahwa langkah-langkah darurat AS itu akan membatasi guncangan dari kegagalan SVB, termasuk risiko penularan ke perbankan dan sektor keuangan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah bangkrutnya SVB, kata dia, pelaku pasar juga saat ini memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada rapat FOMC Maret ini. Padahal, sebelumnya pasar memperkirakan The Fed akan mengerek suku bunga hingga 50 bps.
Sementara itu, dampak dari bangkrutnya SVB secara umum belum akan mendorong pelemahan produk domestik bruto (PDB) Indonesia secara umum, kecuali bila krisis perbankan ini menjadi trigger lanjutan dari krisis global, seperti 2008 silam.
"Dari kondisi tersebut, regulator di AS sepertinya mempunyai early warning system tersendiri agar kasus 2008 tidak terluang, sehingga potensi krisis lanjutan relatif cukup kecil untuk kasus ini," kata Josua.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah, dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dapat menjadikan kasus SVB sebagai pelajaran penting terkait concentrated risk serta risiko dari kepemilikan obligasi di sektor perbankan. Sebab, bila tidak dikelola dengan baik, berpotensi mendorong krisis likuiditas perbankan.
Ihwal dampak kebangkrutan SVB terhadap startup di Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan hal itu berpotensi membuat perusahaan rintisan seret modal.
Bahkan lebih parah lagi memicu kembali gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Efisiensi besar-besaran di startup yang secara langsung dan tidak langsung terkait pendanaan dari SVB dan modal ventura afiliasinya," kata Bhima.
Meski demikian, terkait seberapa besar potensi PHK itu pada startup di Indonesia, Bhima belum bisa menyebut secara pasti. Sebab, harus dihitung terlebih dahulu berapa startup RI yang mendapat pendanaan dari SVB atau modal ventura afiliasinya.
Setali tiga uang, Pengamat Ekonomi Digital dari Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda juga menyebut startup di Indonesia berpotensi semakin sulit mendapatkan pendanaan setelah SVB ditutup. Menurutnya, porsi pendanaan dari AS ke startup di Tanah Air cukup besar.
"Saya rasa dampaknya adalah semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Hal tersebut juga akan semakin berat mengingat porsi pendanaan dari AS ke startup digital kita cukup besar," kata Nailul dikutip dari Antara.
Oleh karenanya, ia mewanti-wanti agar sumber pendanaan dari dalam negeri untuk startup perlu ditingkatkan lagi guna mengantisipasi dampak tutupnya SVB. Apalagi, India juga sudah lebih dahulu memberikan perhatian untuk mengantisipasi pelemahan pendanaan startup.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun turut buka suara soal penutupan SVB. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan itu diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.
"Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat," kata Dian melalui keterangan resmi.
Ia mengklaim Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola, serta perlindungan nasabah. Menurut Dian, upaya tersebut telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil.
Hal ini tercermin dari kinerja industri perbankan RI yang tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global.
Berdasarkan data OJK, pada saat ini kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik. Lihat saja, alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid dana pihak ketiga (AL/DPK) di atas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen.
Angka ini di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi DPK yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat, sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori 'Bank Dalam Resolusi', yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.
Dian mengungkapkan OJK terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), baik secara langsung maupun melalui KSSK dalam rangka mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi.
Selain itu, OJK juga meminta perbankan untuk melakukan langkah-langkah strategis antara lain meningkatkan fungsi maupun peran Asset & Liability Committee dalam melakukan pengelolaan aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, melakukan stress test yang komprehensif, mengkaji serta memperbaharui recovery dan resolution plan secara berkala.