Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan banyak investor yang ingin berinvestasi dalam proyek transisi energi di Indonesia. Namun, investor yang ingin ikut membiayai program pensiun dini pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih minim.
Menurut Sri Mulyani, kebanyakan investor hanya ingin menginvestasikan uangnya ke proyek pengembangan energi baru terbarukan saja. Padahal, pemerintah ingin investor ikut membiayai program pensiun pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Jika Anda (investor) hanya mengambil bagian yang dapat diperbarui tanpa membahas (pembiayaan) pensiun batu bara, itu tidak akan membantu kami," ungkap Sri Mulyani dalam acara 'Seminar on Financing Transition in ASEAN' di Bali Nusa Dua Convention Center, Rabu (29/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, kata Sri Mulyani, Indonesia tidak bisa sendiri untuk melakukan transisi energi. Sebab, untuk melakukan transisi dari energi fosil ke hijau butuh biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, pemerintah mengundang investor untuk masuk ke proyek transisi energi.
Sementara, dari sudut pandang investor, penolakan untuk pembiayaan program pensiun batu bara dianggap tidak sejalan dengan prinsip pembiayaan hijau atau green financing. Sebab, uang yang diinvestasikan digunakan untuk keperluan energi fosil.
"Mereka mengatakan bahwa jika mereka membiayai pensiun dini batu bara maka mereka sudah tidak sejalan dengan prinsipnya green energy," ucap Sri Mulyani.
Sejauh ini bahan bakar fosil, terutama batu bara, mendominasi sektor ketenagalistrikan di Tanah Air. Berdasarkan catatannya, lebih dari 60 persen bauran energi di Indonesia dipenuhi dengan energi dari olahan tenaga batu bara.
Sri Mulyani menilai untuk melakukan program pensiun pembangkit batu bara tidak mudah. Pemerintah harus bisa menjamin hal tersebut dilakukan tanpa membuat pasokan energi turun untuk memenuhi kebutuhan perekonomian yang sedang bertumbuh dengan baik.
Sejauh ini, hasil dari pertemuan KTT G20 November 2022 yang lalu, negara-negara anggota sudah memberikan Indonesia komitmen investasi senilai US$20 miliar.
Dana itu berasal dari komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).
Lihat Juga : |
"Sekarang kami bekerja bagaimana kami akan menerjemahkan komitmen US$20 miliar ini agar kami dapat benar-benar digunakan untuk program transisi energi ini ini," ucap Sri Mulyani.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Mahendra Siregar mengatana transisi energi merupakan keniscayaan.
Namun, prosesnya pun harus dilakukan secara bertahap demi memastikan bahwa stabilitas ekonomi dan sosial tidak terganggu.
Ia juga menyorot banyak negara maju yang malah merusak komitmen Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) untuk menurunkan emisi. Hal ini terlihat dari beberapa negara Eropa yang malah kembali menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik.
Lihat Juga : |
"Ada tanda-tanda bahwa komitmen yang dibuat dalam pertemuan UNFCCC telah dirusak di banyak negara paling maju dengan dibukanya kembali pertambangan batu bara dan pembangkit listrik, serta peningkatan eksplorasi dan penggunaan bahan bakar fosil," kata Mahendra.
Menurutnya, fenomena ini menunjukkan bahwa perekonomian negara-negara tersebut masih ditopang oleh sektor energi. Pasalnya ketika pasokan energi mereka terganggu, negara-negara itu akhirnya lari kembali ke batu bara.
Berkaca dari kejadian itu, Mahendra mengatakan negara-negara ASEAN haru belajar. Menurutnya, mengadaptasi pembiayaan berkelanjutan untuk ASEAN juga perlu jadi perhatian.
"Kita harus memastikan bahwa kemajuan ekonomi dan sosial serta pencapaian tujuan lingkungan tidak terpisah satu sama lain, tetapi terintegrasi sepenuhnya," kata Mahendra.
Sejumlah negara Eropa seperti Jerman, Austria, Belanda, hingga Italia kembali menggunakan batu bara sebagai sumber energi pada pertengahan 2022 lalu. Hal itu dilakukan imbas perang Rusia-Ukraina.
Rusia telah memangkas ekspor energi mereka ke negara-negara Eropa yang menolak untuk membayar dengan rubel.
Meskipun beberapa negara sudah mampu memangkas ketergantungan energi mereka terhadap Rusia, muncul kekhawatiran krisis energi ini akan membuat warga tidak siap menghadapi musim dingin yang akan datang.
Oleh karena itu, beberapa negara tadi memutuskan untuk meninggalkan energi transisi berupa gas dan kembali menggunakan batu bara sebagai sumber energi.