Pertama Kali, RI Punya Pabrik Bahan Baterai Listrik Nikel Sulfat

CNN Indonesia
Selasa, 11 Apr 2023 17:19 WIB
Pabrik nikel sulfat unit usaha Harita Nickel, PT Halmahera Persada Lygen (HPL), memasuki tahap akhir uji coba produksi (final commisioning). (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta).
Halmahera Selatan, CNN Indonesia --

Pabrik nikel sulfat PT Halmahera Persada Lygen (HPL), anak usaha PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel), memasuki tahap akhir uji coba produksi (final commisioning). Pabrik tersebut digadang-gadang menjadi yang pertama di Indonesia dan terbesar di dunia.

Nikel sulfat (NiSO4) merupakan bahan prekursor katoda baterai litium atau baterai kendaraan listrik. Selain nikel sulfat, pabrik juga akan menghasilkan kobalt sulfat (CoSO4) yang menjadi material katoda baterai litium.

Dua material bahan baku baterai listrik itu berasal dari pengolahan bijih nikel berkadar rendah 1,1 persen hingga 1,5 persen atau limonit.

Mengutip prospektus Harita Nickel, metode pengolahan limonit menggunakan High Pressure Acid Leach (HPAL) yakni proses hidrometalurgi arus utama yang memanfaatkan ketinggian suhu, tekanan tinggi dan asam sulfat untuk memisahkan nikel dan kobalt dari bijih nikel laterit.

"Kami masih menunggu perkembangan uji coba ini untuk menentukan target operasinya (pabrik nikel sulfat)," ujar Head of Technical Support HPL Rico W Albert di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Minggu (9/4).

Kapasitas pengolahan HPL mencapai 7,6 juta ton limonit per tahun yang diproses menjadi produk antara Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan produk akhir nikel sulfat-kobalt sulfat. Investasinya menelan US$1,1 miliar atau sekitar Rp16,5 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Fase I, sambung Rico, pabrik berkapasitas produksi nikel sulfat 160 ribu metrik ton (MT) per tahun. Pada Fase II, kapasitas meningkat 80 ribu MT menjadi 240 ribu MT.

"Untuk kapasitas kobalt sulfat 30 ribu MT per tahun," jelasnya.

Saat ini, perusahaan sudah mengoperasikan tiga lajur produksi MHP yakni hasil pengolahan dan pemurnian limonit sebelum diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Material ini merupakan bahan mentah yang penting dalam rantai produksi baterai lithium.

Sementara itu, Harita Nickel selaku pemegang 45,1 persen saham HPL berharap produksi nikel sulfat bisa dimulai tahun ini.

"Tahun ini kami ingin produksi 50 persen untuk MHP dan 50 persen untuk nikel sulfat-kobalt sulfat," ujar Direktur Health, Safety, and Environmental Harita Nickel Group Tonny Gultom pada kesempatan yang sama.

Tonny juga bangga karena HPL merupakan pabrik tercepat di dunia yang mampu mencapai kapasitas produksi olahan limonit 100 persen menggunakan metode HPAL. Sebelumnya, limonit hanya dianggap bagian lapisan batuan penutup (overburden) yang disisihkan.

"Untuk produksi MHP, line (produksi) pertama hanya empat bulan (mencapai kapasitas produksi 100 persen), line kedua dua bulan, line ketiga satu bulan. Negara lain butuh empat sampai lima tahun," ujarnya.

Apabila pabrik nikel sulfat perusahaan resmi beroperasi, mimpi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia "raja" industri kendaraan listrik kian dekat terwujud.

Ambisi yang tak berlebihan mengingat Indonesia punya cadangan nikel, yang merupakan komponen utama baterai kendaraan listrik jenis NHC dan NMA, terbesar di dunia. Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), cadangan nikel RI mencapai 23 persen.

Kendati demikian, Tonny mengingatkan tahapan untuk memproduksi baterai listrik di Tanah Air masih panjang. Pasalnya, rantai produksi baterai listrik nikel masih harus melalui prekursor, electroplating, katoda, hingga sel baterai.

Karena Indonesia belum memiliki industri turunan nikel sulfat, produk yang dihasilkan HPL akan diekspor terlebih dahulu.

"Offtaker-nya (nikel sulfat) sudah ada. Kami tidak ada masalah. Saat ini, yang baru mau beli itu dari China tapi kami terbuka terhadap pasar. Selalu ke penawaran terbaik produknya kami lepas," terangnya.

Tonny berharap lebih banyak investor yang melirik untuk membangun industri turunan nikel di dalam negeri. Pasalnya, berkembangnya industri turunan akan mendorong permintaan bahan baku yang diproduksi perusahaan.

"Saat ini kami berkonsentrasi untuk memproduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat ini dulu. Saya tahu pemerintah mengharapkan investor untuk hilirisasi sampai (produksi) baterai listrik ada di negara kita," ujarnya.

Hilirisasi Nikel Dorong Ekonomi Maluku Utara

Hilirisasi nikel berkembang pesat semenjak pemerintah melarang ekspor bijih (ore) sejak 1 Januari 2020. Hasilnya, nilai tambah ekspor nikel melejit dari hanya US$1,1 miliar atau Rp16,5 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS) menjadi US$33,81 miliar atau Rp507,15 triliun tahun lalu.

Mengutip paparan Menteri Investasi/ Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam Investment Forum B20 di Bali pada November lalu, nilai tambah nikel sulfat 11,4 kali lipat dari limonit. Lalu, nilai tambah prekursor 19,4 kali lipat, katoda 37,5 kali lipat, dan sel baterai 67,7 kali lipat.

Tak heran, upaya hilirisasi yang dilakukan di kawasan pengolahan nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan turut mengerek ekonomi Maluku Utara (Malut).

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan dampak rambatan industri hilirisasi nikel sangat banyak, tidak hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga peluang kerja bagi warga sekitar.

"Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada 2022 sebesar 23,4 persen adalah yang tertinggi di Indonesia dan menurut data itu didorong oleh industri hilirisasi nikel," ujar Josua dalam diskusi 'Ngobrol Asyik di Ternate', Senin (10/4).

Ia mengungkapkan Malut memiliki cadangan nikel yang bisa diolah menjadi bahan baku baterai listrik hingga 73 tahun ke depan. Hal ini membuat provinsi di Indonesia bagian timur ini bisa memegang peran penting dalam rantai industri kendaraan listrik global.

"Wilayah ini (Malut) bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan menjadi rantai terpenting dalam industri otomotif berbasis listrik dunia," terangnya.

Terlebih, permintaan olahan nikel dunia diperkirakan terus meningkat seiring upaya pengurangan emisi melalui transisi energi dan pemanfaatan kendaraan listrik. 

Pada 2024, permintaan olahan nikel global mencapai 3,2 juta ton dengan produksi pertambangan nikel dunia mencapai 3,4 juta ton. Indonesia, sambungnya, diprediksi menyumbang 1,4 juta ton atau lebih dari 40 persen produksi global.

"Kalau tidak ada hilirisasi nikel, potensi yang sangat besar ini tidak ada yang melakukan. Kalau tidak ada pelarangan ekspor nikel bijih nikel kita hanya dikeruk saja," jelasnya.

Kendati demikian, ia mengingatkan industri hilirisasi nikel harus dijalankan secara berkelanjutan dan turut berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan sekitar.



(sfr/asa)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK