Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memproyeksi tren harga minyak tinggi masih akan berlanjut, setidaknya sampai beberapa tahun ke depan, bertahan di atas US$80 per barel.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan hal ditopang oleh berbagai sentimen, seperti perang Rusia-Ukraina yang belum tau kapan berakhir sampai rencana OPEC+ pangkas produksi di tahun ini.
Padahal, sebelumnya harga minyak mulai turun di bawah US$80 per barel ketika AS mengatakan akan melepas cadangan minyaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi di satu sisi OPEC justru memotong produksinya sehingga harga minyak sempat turun ke harga ke US$70 per barel, kemudian naik lagi di sekitar US$84-US$85 per barel. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan angka US$80-an ini masih akan menjadi referensi kita untuk melihat harga minyak ke depan," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (17/4).
Selain itu, ada pula sentimen negatif dari konflik geopolitik belahan dunia lainnya sehingga akan sangat mempengaruhi pergerakan harga minyak. Sehingga, meski krisis perbankan di AS diproyeksi bakal membawa harga minyak turun, akan kembali tinggi.
"Oleh karena itu, saya menyimpulkan larinya ke Indonesia adalah relatif harga masih tinggi," jelasnya.
Menurutnya, hal ini lah yang membuat pemerintah ragu harga minyak bisa turun di bawah US$80 seperti yang diperkirakan sebelumnya.
"Jadi tentu kita berharap bahwa investasi atau aktivitas hulu migas di Indonesia masih cukup agresif, nanti kita tinggal mengoreksi hal-hal bagaimana kita mengantisipasi itu semua," pungkasnya.