Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan untuk meredam dampak El Nino pada sektor pertanian, pemerintah harus segera memfungsikan infrastruktur berupa irigasi.
Ia mencontohkan beberapa proyek strategis nasional (PSN) tahun ini seperti bendungan dan sumur air harus dioptimalkan.
"Jadi harusnya proyek strategis nasional tahun 2023 ini ada yang fokus untuk mempercepat pembangunan sumur-sumur kemudian optimalisasi irigasi," kata Bhima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah juga bisa menyiapkan wacana membuat hujan buatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini bisa dilakukan guna membasahi wilayah yang terdampak kekeringan paling parah.
Selain itu, kata Bhima, pemerintah juga bisa menggandeng pusat-pusat penelitian pertanian dan kampus untuk berinovasi membuat bibit yang tahan cuaca ekstrem. Selanjutnya, pemerintah pun perlu segera menyerap lebih banyak lagi gabah di level petani.
Dengan begitu, stok cadangan beras pemerintah juga semakin meningkat tanpa perlu terlalu mengandalkan pada impor. Di samping itu, pemerintah juga perlu memikirkan nasib petani dengan cara membantu permodalan bagi mereka yang kesulitan finansial imbas kekeringan ekstrem.
"Jadi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga nol persen harus difokuskan ke sektor pertanian. Tahun ini porsinya harus lebih banyak karena itu bisa meringankan beban petani juga," sambung Bhima.
Untuk antisipasi terakhir, Bhima mengatakan pemerintah bisa bekerja sama dengan negara-negara pemasok beras seperti Vietnam dan Thailand. Kerja sama ini dilakukan guna meningkatkan koordinasi untuk mengamankan stok beras jika dampak El Nino cukup parah.
Dengan upaya tersebut, maka lonjakan harga beras imbas kelangkaan pun bisa diredam.
"Saya pikir ini yang harus dilakukan dan kalau perlu bikin paket kebijakan khusus antisipasi El Nino, ada anggaran yang diperjelas karena masuk dalam kategori bencana. Jadi belajar dari El Nino 2015 harus ada Satgas yang khusus untuk menangani masalah di hulu pertanian maupun di hilir," kata Bhima.
Lebih lanjut, ia mengingatkan El Nino bisa berdampak signifikan terhadap stok pangan di dalam negeri dan menyebabkan kenaikan inflasi. Pada tahun 2015, fenomena El Nino menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) mencapai 4,84 persen year on year (yoy).
Sementara pada Januari 2016, inflasi harga pangan bergejolak menembus 6,77 persen yoy. Padahal, Januari atau awal tahun biasanya inflasi cenderung rendah, tapi El Nino menyebabkan anomali di awal 2016.
Bhima menilai dengan kondisi inflasi pada 2023 diperkirakan berkisar 4,5 persen hingga 5 persen, kondisi El Nino bisa memperburuk ekspektasi itu.
"Kekeringan ekstrem harus mulai dimitigasi terutama di kantong penghasil pangan utama," tegasnya.
Belum lagi, El Nino juga bisa berimbas investasi. Bhima menyebut pada rentang 2021-2022 terjadi kenaikan investasi di sektor perkebunan khususnya bertepatan dengan bonanza minyak sawit mentah (Crude palm oil/CPO) di pasar ekspor.
Adapun harga CPO per 27 April 2023 mengalami tekanan hingga turun 48,8 persen yoy. Jadi faktor harga yang turun juga berkontribusi pada tertunda nya investasi di sektor sawit.
"Ditambah risiko El Nino tentu bisa mempengaruhi keputusan penambahan investasi di sektor perkebunan setidaknya dalam dua hingga tiga tahun ke depan," tandas Bhima.