ANALISIS

JK dan Tudingan Bayar Utang Jumbo Rezim Jokowi Rp1.000 T per Tahun

CNN Indonesia
Rabu, 24 Mei 2023 07:50 WIB
Utang pemerintah menjadi topik hangat yang diperbincangkan jelang pemilu 2024. JK menyebut rezim Jokowi membayar Rp1.000 triliun tiap tahun untuk utang.
Utang pemerintah menjadi topik hangat yang diperbincangkan jelang pemilu 2024. JK menyebut rezim Jokowi membayar Rp1.000 triliun tiap tahun untuk utang. (REUTERS/WILLY KURNIAWAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Utang pemerintah kembali menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh berbagai pihak jelang pemilu 2024. Seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membayar utang hingga Rp1.000 triliun per tahun.

Menurutnya, pembayaran utang itu tertinggi sepanjang sejarah Indonesia karena jumlah utangnya juga sangat besar.

"Pak AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) tadi mengatakan utang besar, betul. Setahun bayar utang lebih Rp1.000 triliun, terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka," ujar JK dalam acara Milad PKS ke-21 di Istora Senayan, Sabtu (20/5) lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim pembayaran utang pemerintah hingga kini masih terjaga dengan baik, dan dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

Kendati, Ani sendiri tak menampik ataupun membenarkan soal besaran pembayaran utang Rp1.000 triliun per tahun.

"Kita kalau lihat dari data dan pengelolaan utang tiap tahun kita, utang itu kan ada beberapa jangka waktunya. Pasti untuk yang tempo maupun pembayaran utangnya itu sudah ada di dalam APBN dan itu masuk dalam strategi pembiayaan tiap tahun. Itu yang kita lakukan," ujarnya ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (23/5).

Bendahara negara ini menekankan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk utang, yang penting adalah dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Dengan kata lain, sebelum jatuh tempo, utang bisa dibayar.

Selain itu, ia menekankan untuk utang Indonesia tidak hanya pembayaran yang lancar. Namun, jumlahnya yang meski saat ini tinggi, tapi masih jauh di bawah ambang batas utang yang ditetapkan UU Keuangan Negara, yakni 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), per akhir Maret 2023, posisi utang pemerintah tercatat sebesar Rp7.879,07 triliun. Rasio utang ini tercatat sebesar 39,17 terhadap PDB.

Dalam data tersebut, Kemenkeu tidak merinci jumlah pembayaran utang yang dilakukan setiap tahunnya. Hanya ada jumlah pembayaran bunga utang tanpa menyebut jumlah pokok utangnya. Lantas seperti apa realisasi pembayaran utang pemerintah?

Tercatat, selama rezim Jokowi periode kedua atau lima tahun terakhir, pembayaran bunga utang selalu rutin dilakukan dan jumlahnya cukup besar. Pembayaran bunga utang masuk dalam belanja pemerintah pusat bagian non K/L.

Dalam belanja non K/L, ada penjabaran mengenai pembayaran bunga utang dan subsidi (energi hingga pupuk).

Lihat saja pada 2018, pemerintah merealisasikan belanja non K/L sebesar Rp608,23 triliun, di mana untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp258,09 triliun dengan rasio 29,9 persen terhadap PDB.

Lalu, pada 2019 pembayaran bunga utang meningkat menjadi Rp275,54 triliun dengan rasio 30,2 persen. Kemudian, pada 2020 pembayaran bunga utang meningkat lebih tinggi lagi, yakni 14 persen dari 2019, menjadi Rp314,08 triliun dengan rasio 38,7 persen terhadap PDB.

Selanjutnya, pada 2021 pembayaran bunga utang berkurang sekitar Rp29,77 triliun dibandingkan 2020, yakni menjadi Rp284,31 triliun dengan rasio 41 persen terhadap PDB.

Pembayaran bunga utang terlihat meningkat signifikan pada 2022. Sepanjang tahun itu, pemerintah merealisasikan pembayaran bunga utang yang mencapai Rp386,34 triliun dengan rasio 39,57 persen.



Sementara itu, pembayaran bunga utang pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau kurun waktu 2009-2013 cukup fluktuatif, namun masih dalam tren naik.

Pada 2009 pembayaran bunga utang mencapai Rp93,8 triliun dengan rasio 28,3 persen terhadap PDB. Lalu, turun menjadi Rp88,4 triliun dengan rasio 24,5 persen pada 2010.

Setelah itu naik lagi menjadi Rp106,6 triliun dengan rasio 23,1 persen pada 2011. Kemudian, naik lagi menjadi Rp117,7 triliun dengan rasio 23 persen pada 2012.

Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan permasalahan utang pemerintah sebenarnya terletak pada produktivitasnya.

Ia menilai utang masih belum optimal dalam mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi. Padahal, seharusnya utang bisa menjadi stimulan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi apalagi pasca pandemi.

Rizal menyebut utang di era Jokowi banyak dibelanjakan untuk infrastruktur, di mana dampaknya dalam jangka panjang. Pasalnya, dalam pembangunan infrastruktur sendiri ada time-lag untuk optimalisasi dan utilitisasinya.

Hal ini disebabkan faktor kesiapan regulasi daerah serta konektivitas antara wilayah dan antar sektor ekonomi.

"Hanya saja pembangunan infrastruktur ini masih belum terkoneksi langsung dengan aktivitas ekonomi dan produksi hasil-hasil di pedesaan ke pasar. Termasuk juga dari sisi pengolahannya," tutur Rizal kepada CNNIndonesia.com.

Jika dilihat dari trennya, jumlah utang pada periode Jokowi semakin meningkat jumlahnya hingga tiga kali lipat dari periode 2015-2019 dan 2019-2022, yakni mencapai Rp7.879 triliun.

Sedangkan, pada masa pemerintahan SBY selama dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, jika dilihat dari data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) Bank Indonesia (BI), tercatat utang Indonesia mencapai US$141,3 miliar atau sekitar Rp2.178,36 triliun (asumsi kurs Rp15.416 per dolar AS).



Utang di era Jokowi produktif atau tidak?

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER