Bahlil Soal Permintaan IMF: Sampai Langit Runtuh Tetap Hilirisasi
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah tidak mau menuruti rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) untuk mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya.
Bahlil membantah keterangan IMF yang menyebut hilirisasi dalam larangan ekspor bahan mentah menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara dan berdampak negatif terhadap negara lain.
"Sampai langit runtuh pun hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Kyai Ma'ruf Amin," ucap Bahlil dalam konferensi pers, Jumat (30/6).
Ia pun membantah rekomendasi IMF itu melalui beberapa data capaian ekonomi Indonesia sejak resmi melarang ekspor nikel pada 2020 lalu.
Bahlil merinci larangan ekspor berdampak pada meningkatnya realisasi investasi di sektor industri logam dasar. Pada 2019 investasi di industri tersebut hanya mencapai Rp61,6 triliun.
Setelah pemerintah menggalakkan hilirisasi, investasi di industri logam dasar meningkat menjadi Rp171,2 triliun pada 2022. Lalu, hilirisasi juga berdampak pada membaiknya neraca perdagangan RI.
Ia mencatat, neraca dagang Indonesia defisit US$3,6 miliar pada 2019 atau sebelum ada larangan ekspor dan hilirisasi. Setelah itu, neraca dagang pun terus surplus. Pada 2022, neraca dagang RI surplus US$54,5 miliar.
"Dengan hasil hilirisasi ini surplus neraca perdagangan kita sudah sampai dengan 25 bulan sekarang ini dan neraca pembayaran kita juga mengalami perbaikan dan bahkan terjadi ini akibat apa? Hilirisasi," ucap Bahlil.
Tak hanya itu, ia juga menuturkan hilirisasi mendorong pertumbuhan penciptaan tenaga kerja pada sektor pertambangan dan industri logam dasar.
Menurut Bahlil, sejak berlakunya kebijakan hilirisasi, pertumbuhan penciptaan tenaga kerja rata-rata pada sektor tersebut mencapai 26,9 persen dalam empat tahun terakhir.
"Jadi sangatlah tidak rasional bahkan saya mempertanyakan data IMF ini untuk kemudian mengatakan bahwa mengurangi pendapatan negara," imbuh Bahlil.
Sebelumnya, IMF meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya.
Permintaan mereka sampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6) kemarin.
Dalam laporan itu, IMF sebenarnya menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor mineral, termasuk menarik investasi asing dari kebijakan larangan ekspor itu.
Selain itu, IMF tersebut juga mendukung langkah Indonesia yang memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut, dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.
"Dalam konteks itu, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis laporan tersebut.
Jokowi sudah melarang ekspor nikel sejak Januari 2020 yang memberikan manfaat besar ke ekonomi dalam negeri.
Sebelum larangan ekspor nikel mentah berlaku, Jokowi mengatakan nilai perdagangan yang diraih Indonesia dari penjualan produk tersebut hanya US$1,1 miliar atau Rp17 triliun.
Setelah larangan ekspor berlaku dan nikel diolah di dalam negeri, nilai ekspor dari bahan mentah itu melonjak 19 kali lipat jadi US$20,9 miliar atau Rp326 triliun.
Selain nikel, Jokowi juga melarang ekspor bauksit mulai Juni ini. Kebijakan itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, Jokowi ingin meningkatkan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri.
Kedua, meningkatkan penciptaan lapangan kerja baru.
Ketiga, meningkatkan penerimaan devisa.
Keempat, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di Indonesia.