Dana Moneter Internasional alias IMF meminta Jokowi membuka keran ekspor nikel Cs lagi.
Permintaan tertuang dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6).
IMF menilai kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Dalam konteks itu, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis laporan IMF tersebut.
Permintaan itu memantik reaksi keras dari pemerintah. Salah satunya dari Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Bahlil bakan menegaskan sampai langit runtuh pun Indonesia bakal tetap melakukan hilirisasi mineral mentah. Pasalnya, dampak dari kebijakan itu sangat terasa menyehatkan ekonomi Tanah Air.
Bahlil menyebut pemerintah Indonesia sudah kapok dengan saran dari IMF. Pasalnya, IMF pernah memberi saran yang bukannya membantu tapi malah memperparah sakit Indonesia.
Itu terjadi saat krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada 1998 lalu. Saat itu, Indonesia sebagai negara yang sakit sebetulnya hanya cukup dirawat di ruang rawat inap saja.
Tapi akibat saran yang diberikan IMF, sakit Indonesia malah semakin parah sehingga harus dirawat di ICU.
Berikut beberapa rekomendasi IMF yang pernah jungkalkan ekonomi Indonesia hingga harus masuk ke ruang ICU.
Ketika Indonesia memasuki krisis ekonomi OKtober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk menjadi dokter penyembuh krisis. Saat itu, Indonesia didiagnosis mengalami moneter berskala sedang.
Kala itu IMF menawarkan bantuan. Seperti ungkapan 'tak ada makan siang gratis', bantuan dana pun tak diberikan cuma-cuma. Pemerintah harus memenuhi sejumlah persyaratan panjang jika ingin memperoleh bantuan dari IMF.
Syarat itu di antaranya menuruti IMF untuk menaikkan suku bunga acuan, menyuntikkan dana bantuan bagi perbankan, dan melikuidasi bank tak sehat.
Namun, harapan seringkali tak sesuai kenyataan. Sejumlah program gagal mencapai sasaran. Obat yang diberikan IMF ternyata sangat pahit untuk ditelan ekonomi Indonesia.
Saat itu, IMF mengusulkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp147 triliun kepada sekitar 48 bank. Faktanya, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dengan memasukkan benda tidak berharga dalam daftar aset untuk mendapat dana penjaminan.
Tak hanya itu, usulan IMF untuk melikuidasi 16 bank nasional menjadi kesalahan paling besar yang menimbulkan efek psikologis sangat buruk bagi sektor moneter kala itu.
Usut punya usut, rekomendasi IMF ini nyatanya disusupi berbagai kepentingan. Mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating berpendapat Kementerian Keuangan AS dengan sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi sebagai sarana untuk menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto.
Mantan Menteri Luar Negeri AS Lawrence Eagleberger bahkan membenarkan diagnosis bahwa pemerintah AS memang mendukung IMF untuk sengaja menggulingkan Soeharto.
"Kami cukup pintar mendukung IMF, karena menggulingkan (Soeharto). Apakah itu cara yang bijaksana untuk dilakukan adalah pertanyaan lain," demikian tertulis dalam laporan.
Dalam laporan panjang tersebut, Direktur Eksekutif IMF Michel Camdessus juga tak membantah pernyataan Eagleberger. Saat dia pensiun, dengan bangga dia berkata. "Kami menciptakan kondisi yang mengharuskan Presiden Soeharto untuk meninggalkan kekuasaannya."
Laporan New York Times berjudul 'American with Cure All Enlivens Jakarta Crisis' yang ditulis Seth Mydans mengungkapkan episentrum krisis ekonomi Indonesia bukan diawali tumpukan utang pemerintah dan pihak swasta, tetapi justru ditandai oleh kehadiran IMF.
Saat krisis ekonomi 1997-1998 melanda Tanah Air, IMF juga berencana mengucurkan pinjaman US$5 miliar. Namun, lembaga itu memberikan syarat.
Syaratnya, kalau Indonesia mau mendapatkan pinjaman tersebut, pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi kepada PT Dirgantara Indonesia yang saat itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Dengan syarat dan kesepakatan pencairan pinjaman tersebut, pemerintah tidak lagi memberikan bantuan kepada IPTN yang saat itu sedang menyelesaikan proyek Turboprop N-250.
Padahal kala itu, pesawat tersebut sedang menjalani uji terbang akhir guna mendapatkan sertifikat layak terbang dari Federation Aviation Agency Amerika.