Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki mengatakan undang-undang (UU) koperasi segera direvisi. Hal ini dilakukan sebagai solusi jangka panjang atas maraknya koperasi simpan pinjam yang bermasalah belakangan ini.
Ia menyebut koperasi simpan pinjam saat ini sudah semakin besar, tetapi tata kelolanya buruk. Pasalnya pengawasan koperasi dilakukan oleh pengurusnya sendiri.
"(UU Koperasi) ini sudah tidak memadai lagi. Karena itu direvisi UU Koperasi, nanti untuk koperasi simpan pinjam menengah dan besar kita usulkan ada otoritas pengawas koperasi," kata Teten di Gedung SMESCO, Jakarta, Rabu (5/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan revisi UU Koperasi, sambungnya, pengawasan koperasi tidak lagi dilakukan oleh pihak internal. Pasalnya selama ini, kata Teten, banyak pengawas koperasi yang dipilih dengan sistem tidak benar.
"Itu kan banyak pengawasnya dibentuk asal-asalan juga," kata Teten.
Terkait koperasi simpan pinjam yang bermasalah, Teten mengatakan pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan karena sudah masuk wilayah hukum. Kendati demikian, belum ada solusi untuk menanggung dana nasabah yang tak dikembalikan oleh pengurus koperasi.
"Saat ini tidak ada solusi jangka pendek untuk menalangi uang mereka yang dirampok oleh pengurus koperasinya. Pemerintah tidak ada skema itu," kata Teten.
Teten menjelaskan pemerintah mendorong agar proses hukum koperasi yang bermasalah segera dilakukan. Kemudian, aset pribadi pengurus koperasi disita dan dijual untuk membayar dana kepada anggota koperasi.
"Kita akan terus mengontrol proses hukum di kejaksaan, kepolisian, pengadilan," kata Teten.
Sejumlah koperasi bermasalah dalam beberapa waktu terakhir, yaitu KSP Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP LiMa Garuda, KSP Timur Pratama Indonesia.
Teten mengatakan sebenarnya kewajiban yang harus dibayar koperasi itu ke nasabah sebesar Rp26 triliun. Namun, hingga kini yang dikembalikan baru Rp 3,4 triliun. Teten menjelaskan itu semua terjadi karena kendala penjualan aset, pengurusan koperasi, dan proses pidana yang berjalan. Hal itu membuat likuidasi aset menjadi sulit.