Beda Hitungan Jokowi dan Faisal Basri soal Untung Hilirisasi Nikel

CNN Indonesia
Jumat, 11 Agu 2023 09:52 WIB
Presiden Jokowi dan Ekonom Senior Faisal Basri menjelaskan soal perhitungan keuntungan dari hilirisasi nikel. Ilustrasi. (REUTERS/AJENG DINAR ULFIANA).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah tudingan Ekonom Senior Faisal Basri soal kebijakan hilirisasi nikel yang saat ini sudah dijalankan justru menguntungkan China.

Dalam hal ini, Jokowi dan Faisal Basri ternyata memiliki hitungan yang berbeda. Karenanya, Kepala Negara ini mempertanyakan metode perhitungan yang digunakan ekonom senior Indef tersebut.

"Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun," ujar Jokowi di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).

Menurut Jokowi, dilihat dari nilai ekspor nikel setelah dan sebelum hilirisasi saja terlihat jelas bahwa keuntungan negara lebih besar dengan melarang ekspor bahan mentah.

Dengan nilai ekspor yang lebih besar artinya keuntungan negara dari penarikan pajak juga lebih banyak. Sehingga, ia sangat heran dengan pernyataan bahwa kebijakan hilirisasi menguntungkan negara lain.

"Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?," jelasnya.

Faisal menyebut China mendapat keuntungan 90 persen dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Sedangkan, pemerintah hanya menikmati 10 persennya saja.

"Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10 persen, 90 persennya ke China," katanya dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi di Jakarta, Selasa (8/8) lalu.

Dalam tulisan terbaru di blog pribadinya, Faisal mengungkapkan benar bahwa terjadi lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi yang bahkan capai 414 kali lipat. Namun, sekali lagi itu tidak semuanya masuk ke Indonesia.

Pasalnya, saat ini perusahaan smelter yang beroperasi Tanah Air dimiliki oleh China. Sehingga, seberapa besar pun nilai ekspornya tetap tak masuk 100 persen ke Indonesia.

Apalagi, Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Selain itu, terkait perpajakan, Indonesia memberikan insentif berupa tax holiday kepada pengusaha smelter. Artinya, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," kata Faisal dalam unggahan tersebut.

Dalam hal ini, Faisal mempertanyakan balik nilai Rp510 triliun yang diungkapkan Jokowi. Sebab, berdasarkan data BPS 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar.

Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah 2022 sebesar Rp14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.

Namun, karena hampir semua smelter nikel milik pengusaha China, maka pendapatan juga hampir seluruhnya mengalir ke sana.

Tak hanya itu, banyak tenaga kerja China di smelter nikel Indonesia yang upahnya dibayar lebih tinggi dari pekerja lokal. Belum lagi, ia menduga, sebagian tenaga kerja China itu ada yang menggunakan visa kunjungan.

"Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," pungkasnya.



(ldy/sfr)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK