"Harusnya BUMN dioptimalkan perannya di hilirisasi ini, misalkan di holding MIND ID menjadi lead untuk bisa melakukan itu. Ini termasuk pascapengolahan smelter harus ada tahapan lebih lanjut, misalnya bagaimana bicara industri baterai," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/8).
Komaidi setuju dengan usul Faisal Basri yang meminta Presiden Jokowi mengaudit geliat smelter nikel di Indonesia, mulai dari sederet insentif hingga data pekerjanya.
Ia menekankan sah-sah saja ada penanaman modal asing (PMA), tetapi klausul perjanjiannya haram merugikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Ia menyebut tujuan bermitra adalah saling menguntungkan, Indonesia mendapatkan manfaat dan pihak asing mengantongi margin wajar. Oleh karena itu, Komaidi keberatan jika Indonesia malah didikte negara luar.
"Potensi manfaatnya diterima mereka, sementara kita memberikan insentif cukup besar, ini kan menjadi kurang proporsional. Kalau yang diberikan insentif perusahaan dalam negeri atau anak bangsa, relatif logis," tutur Komaidi.
Menurutnya, investor smelter yang datang dari asing tentu akan membawa keuntungannya ke luar negeri. Pada akhirnya, target keuntungan yang diharapkan Indonesia meleset jauh dari sasaran.
Komaidi mendukung aturan baru dari Kemenperin. Ia menyebut memang sudah seharusnya tugas kementerian pimpinan Agus Gumiwang itu mengatur TKDN dalam kerja sama dengan asing agar manfaat yang dirasakan Indonesia meningkat.
Kendati, ia meminta Kemenperin menyiapkan peta jalan yang jelas. Agus Gumiwang cs diminta merinci bagaimana gambaran dan target hilirisasi Indonesia dalam 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, bahkan 100 tahun mendatang.
"Jangan hanya sekadar mengolah bahan mentah menjadi setengah jadi kemudian diekspor lagi, tetapi jauh lebih penting bagaimana ini bisa menggerakkan industri dalam negeri untuk tumbuh dan berkembang lebih baik," saran Komaidi.
"Hilirisasi ini gaungnya cukup besar, semua pihak saya kira ngomong masalah hilirisasi, secara politik juga dapat porsi cukup besar. Namun, realisasinya saya kira masih ada beberapa hal yang perlu disinergikan, masih ada beberapa lubang," sambungnya.
Ia meminta pemerintah jelas menentukan tujuan akhir hilirisasi ini apa, di mana seharusnya bukan sekadar torehan ekspor.
Komaidi menyebut pergeseran ekspor bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau jadi bukanlah semangat hilirisasi.
Menurutnya, semangat hilirisasi yang lebih penting adalah bagaimana menggerakkan perekonomian di pusat dan daerah, khususnya sektor industri.
"Kan ini bahan baku industri, misal bicara nikel kan kemudian akan menjadi bahan baku atau komponen baterai kendaraan listrik. Jadi, harusnya menuju ke arah sana sehingga industri atau ekosistem baterai motor dan mobil listrik harus diciptakan kementerian terkait, kemudian semuanya mengarah ke sana," tandas Komaidi.
Senada, Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengkritisi sulitnya perusahaan pelat merah masuk dalam program hilirisasi. Ia pun membandingkan keberanian Himbara dengan China untuk urusan pembiayaan.
Ia menilai China selangkah lebih maju karena sudah berpengalaman dalam urusan pengolahan bahan mentah. Yayan menyebut Negeri Tirai Bambu tahu bagaimana risk and return sektor ini.
"Yang menjadi masalah bagi Himbara, yaitu tidak mau bermain dengan manajemen risiko tinggi. Pembiayaan untuk sektor ini berisiko tinggi karena kita enggak punya peta risk and return yang akurat akan itu," jelas Yayan.
Lebih lanjut, Yayan mengingatkan RUU tentang Pengadaan Jasa dan Publik gagasan Kemenperin tidak akan mudah. Ia menilai penerapan TKDN harus benar-benar serius.
"Andaikan ini di-push, sistem TKDN harus berkualitas dan akurat," tegasnya.