Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut minimal gaji pekerja Indonesia harus mencapai Rp10 juta per bulan untuk mendukung Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Ia mencatat saat ini pendapatan per kapita Indonesia ada di angka US$4.700 atau setara Rp73 juta (asumsi kurs Rp15.693 per dolar AS). Lalu, pendapatan per kapita Indonesia ditargetkan naik ke US$5.500 atau Rp86 juta di 2024 dan US$10 ribu alias Rp156 juta selepas 2030 hingga 2045.
Menurut Airlangga, Indonesia akan mengandalkan sektor manufaktur di masa mendatang, di mana saat ini kontribusinya 18 persen ke ekonomi tanah air. Pada 2030, sektor ini ditargetkan menyumbangkan 25 persen, terlebih digitalisasi dan industri 4.0.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya kita harus mencari pekerjaan, kalau income per tahun US$10 ribu atau (sekitar) Rp150 juta, berarti minimum income kita itu sekitar Rp10 juta per bulan. Ini yang harus dicari sektor industri apa yang bisa membayar gaji di Rp10 juta," kata Airlangga dalam HSBC Summit 2023 di The St Regis, Jakarta Selatan, Rabu (11/10).
"Artinya kita harus naik industrinya ke sofistikasi (kompleks), lebih tinggi. Atau kita lihat industri yang bisa menaikkan industri-industri dasar, seperti tekstil and footware, itu pada produk-produk yang punya nilai lebih tinggi. Kita harus move away dari industri yang bisa dikerjakan negara lain, seperti Bangladesh dan lain-lain," imbuhnya.
Lantas, kapan gaji pekerja Indonesia bisa minimal Rp10 juta?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai cita-cita gaji rata-rata pekerja Indonesia bisa mencapai Rp10 juta per bulan masih angan-angan.
Menurut perhitungannya, dengan pertumbuhan upah 1,8 persen per tahun, diperkirakan rata-rata upah pekerja baru mencapai Rp10 juta per bulan pada tahun 2092. Angka pertumbuhan 1,8 persen tersebut ia peroleh dari kenaikan upah Februari 2022 ke Februari 2023.
Sementara, menurut Bhima, untuk mencapai upah Rp10 juta per bulan pada 2045 maka dibutuhkan kenaikan upah rata-rata pekerja 6 persen setiap tahunnya.
Ia mengatakan negara-negara dengan pendapatan perkapita tinggi atau gaji pekerja tinggi biasanya adalah negara dengan struktur ekonomi yang kuat yang tercermin dari porsi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB)-nya.
"Negara agraris ditunjukkan juga oleh kontribusi sektor pertaniannya yang punya nilai tambah dan juga pemanfaatan teknologinya. Itu bisa mendukung industrialisasi dan sektor pertanian. Di dua sektor itulah pertanian dan industri pengolahan tempat serapan tenaga kerja yang besar," jelas Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/10).
"Jadi kalau industrinya bisa tumbuh tinggi dan berkualitas, maka akan berpengaruh juga terhadap gaji para pekerjanya," sambungnya.
Jika sektor pertanian Indonesia meningkat, bahkan bisa menyumbang ketahanan pangan, hal ini tentu akan berkorelasi. Menurut Bhima, meningkatnya sektor pertanian bisa membuat pekerja di sektor itu berpenghasilan tinggi.
Kemudian apa tantangan bagi pemerintah dalam memperoleh penghasilan yang tinggi?
Bhima mengatakan pemerintah harus selektif memilih investasi industri yang memiliki nilai tambah, transfer teknologi, dan juga transfer skill bagi para pekerja lokal.
Lalu, ia menganjurkan pemerintah untuk tidak mengeluarkan investasi secara ugal-ugalan dan memberikan insentif pajak secara sembarangan kepada investasi yang berkualitas rendah.
"Pelajarannya adalah sekarang momentum untuk menarik relokasi investasi atau relokasi industri. Terutama sejak adanya perang Ukraina dan juga perang dagang, dan adanya gejolak di Timur Tengah ini. Jadi ini kesempatan untuk menarik ke Indonesia. Ya berarti semua perangkat regulasinya disiapkan untuk itu," jelasnya.
Selain itu, ia berpendapat bahwa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja masih banyak yang perlu diperbaiki. Menurutnya, di dalam UU tersebut justru terdapat banyak pasal di kluster ketenagakerjaan yang berisiko menurunkan upah.
"Ini yang jadi masalah nih. Kita mau jadi negara maju, upahnya naik, tapi banyak aturan, termasuk terkait dengan outsourcing, terkait dengan formulasi upah minimum misalnya, di dalam UU Ketenagakerjaan ini yang kontradiksi dengan cita-cita tadi. Nah, berarti harus ada perubahan regulasi dimulai dari UU cipta kerja," lanjut Bhima.
Jika berfokus pada sektor pertanian, menurut Bhima, salah satu masalah dalam mengangkat upah pekerja termasuk porsi impor yang dinilai terlalu besar. Hal ini menurutnya membuat orang malas untuk masuk di sektor pertanian karena pendapatan petani dinilai tidak berkembang.
Pada saat yang sama, ia menilai tingkat korupsi di sektor pertanian masih tinggi. Sehingga bantuan-bantuan kepada para petani dianggap tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Salah satu insidennya termasuk Eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang baru-baru ini terjerat kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian.
"Harusnya ini kan, ada korelasi lah, ngasih subsidi pupuk, ngasih bantuan alat pertanian pendampingan petani dengan masalah ketahanan pangan produksi berasnya naik, ini kan enggak nih. Jadi kita malah mundur sekarang. Akhirnya apa? Generasi mudanya yang existing di sektor pertanian semakin sedikit," kata dia.
Sementara sektor pertanian di Indonesia tidak menjadi sektor yang menarik. Padahal, kata Bhima, negara-negara dengan upah yang cukup tinggi memiliki basis pertanian kuat, seperti Selandia Baru dan Denmark.
Selain itu, menurut dia, uang yang seharusnya digunakan untuk industri dan pertanian kini banyak terserap masuk ke kas pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena kondisi pemerintah yang membutuhkan dana untuk pembangunan sehingga menerbitkan utang dan diserap oleh bank.
"Logikanya adalah, oke pemerintah yang akan jadi motor pertumbuhan. Proyek-proyek infrastrukturnya banyak yang bermasalah, yang tidak menyelesaikan masalah utama pertumbuhan biaya logistik kita," jelas dia lebih lanjut.
"Jadi, memang untuk mencapai Rp10 juta itu, kalau sekarang dengan kondisi struktur ekonomi yang ada, kita juga bergantung naik turunnya harga komoditas seperti batu bara, sawit, yang kita tau kapan dia akan naik, kapan dia akan turun. Ya, itu yang membuat kita susah untuk lepas dari pendapatan yang rendah seperti sekarang," sambung Bhima.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Middle Income Trap
Jika memang cita-cita gaji pekerja Indonesia mencapai Rp10 juta pada 2045 tidak tercapai, maka Bhima mengatakan Indonesia akan masuk dalam middle income trap dan akan kehilangan momentum untuk bisa jadi negara maju.
"Artinya satu, makin banyak sandwich generation. Jadi makin banyak usia produktif yang menanggung usia non-produktif, termasuk lansia. Karena kita sudah kehabisan waktu untuk mengejar pendapatan yang tinggi," kata Bhima.
Tak hanya itu, hal ini juga tentu akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Bhima mengatakan Indonesia akan tetap dipandang sebagai negara yang hanya bersaing dengan negara-negara berpendapatan rendah atau menengah ke bawah.
Oleh karena itu, Bhima menyebut pemerintah harus melakukan reformasi struktural negara.
"Artinya merubah struktur ekonomi kita, mencegah deindustrialisasi. Kemudian pemerintah juga harus meningkatkan investasi yang memang menyerap tenaga kerja. Pemerintah juga harus memfokuskan pada insentif fiskal atau perpajakan yang tepat sasaran yang bisa menaikkan upah dari para pekerja," imbuhnya.
Transformasi Ekonomi
Setali tiga uang, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai target gaji pekerja Rp10 juta per bulan lepas 2030 terlalu ambisius.
"Untuk melipatgandakan pendapatan pekerja, kita membutuhkan transformasi ekonomi ke sektor bernilai tambah tinggi, terutama industri manufaktur, yang sayangnya hingga kini kita tidak melihat langkah yang cukup meyakinkan ke arah perubahan struktur perekonomian," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, untuk mencapai target gaji pekerja Rp10 juta per bulan, Indonesia membutuhkan industrialisasi yang masif, dengan kontribusi industri manufaktur pada PDB setidaknya di kisaran 25-30 persen.
Sementara, Yusuf menilai kondisi tanah ini saat ini justru sebaliknya, yaitu mengalami deindustrialisasi, di mana kontribusi industri manufaktur terhadap PDB justru turun dari kisaran 27 persen pada 2005 menjadi kini hanya di kisaran 18 persen pada 2022.
Perubahan struktur ekonomi salah satunya terlihat dari komposisi barang ekspor, karena Yusuf menilai hal itu secara langsung menunjukkan daya saing perekonomian. Dilihat dari struktur ekspor, tidak salah jika disebut struktur ekonomi Indonesia hari ini tidak banyak berbeda dibandingkan era orde baru.
Ia menjelaskan pada era 1970-an, ekspor utama Indonesia adalah komoditas yakni, minyak dan gas bumi. Sementara di era tahun 1980-an dan 1990-an, ekspor utama Indonesia adalah barang industri manufaktur ringan berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti kayu lapis, tekstil, garmen dan alas kaki.
Kini, di era 2020-an, ekspor utama Indonesia masih barang industri manufaktur berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti batu bara, minyak sawit, tekstil dan produk logam dasar.
"Dapat dikatakan, dalam 3-4 dekade terakhir, tidak ada pendalaman industri nasional kita," jelas dia.
Ketika negara lain telah jauh bergerak menarik investasi dengan keunggulan kompetitif seperti kualitas SDM, keunggulan birokrasi dan adopsi teknologi tinggi melalui investasi yang masif, Yusuf menilai Indonesia masih terus mengandalkan lahan dan upah buruh murah untuk menarik investasi.
Ia menjelaskan dalam tujuh tahun terakhir, Indonesia menarik investasi besar di sektor pertambangan dan industri pengolahan logam. Namun itu semua di atas biaya insentif perpajakan yang sangat besar, kemudahan penguasaan tanah hingga kebebasan merekrut buruh termasuk buruh asing.
Menurut Yusuf, UU Cipta Kerja mengukuhkan iklim investasi berbasis upah buruh dan biaya lahan murah.
"Ini sebenarnya menggambarkan kegagalan Industrialisasi kita, dimana pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur dalam PDB kita terus menurun, dari kisaran 27 persen pada 2005 kini hanya di kisaran 18 persen pada 2022," tegasnya.
Yusuf berpendapat dengan UU Cipta Kerja, Indonesia hanya akan terus mengundang masuk investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah, di mana biaya sosial dan lingkungan dari investasi seperti ini adalah besar.
"Kinerja ekonomi dari investasi ini cenderung semu, terlihat memberi manfaat besar di awal namun kemudian lebih banyak menciptakan biaya sosial -lingkungan dalam jangka panjang," ungkap dia.
Di era 1990-an, investasi di Indonesia didominasi oleh investasi di sektor industri manufaktur, terutama industri padat karya berorientasi ekspor. Pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada 1997, dan setelah kejatuhan akibat krisis kembali pulih di 2000-an.
Namun setelah itu, pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun hingga kini, dari kisaran 27 persen dari PDB pada 2005 menjadi hanya kisaran 18 persen dari PDB pada 2022.
"Deindustrialisasi dini ini ditandai melemahnya daya saing industri manufaktur khususnya industri padat karya, sehingga pasca era 2000-an investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, kecenderungan ini menguat dalam 10 tahun terakhir. Hal ini yang menjelaskan mengapa investasi kini semakin lemah menyerap tenaga kerja," lanjutnya.
Menurut Yusuf, investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non tradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya seperti investasi di sektor properti dan pergudangan (logistik).
Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya namun ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan industri pengolahan hilirisasi tambang, yang secara umum bersifat padat modal dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari China.
Turunnya daya saing industri padat modal sebenarnya tak hanya dialami Indonesia. Hanya saja yang membedakan adalah respon kebijakannya.
Yusuf menjelaskan di era 1980-an, Indonesia mulai menerima banyak investasi di industri padat karya yang berpuncak di 1990-an. Hal yang sama terjadi di China.
"Kini daya saing industri padat karya kita menurun, tergerus oleh negara lain dengan upah buruh yang lebih murah seperti Vietnam, Bangladesh dan Sri Lanka, begitupun China. Namun respon kita adalah berusaha "mempertahankan" industri padat karya "at all cost", antara lain dengan UU Cipta Kerja," kata dia.
[Gambas:Photo CNN]
Menurutnya, pendalaman struktur industri yang masif memungkinkan China untuk tetap dapat menyediakan lapangan kerja yang luas bagi angkatan kerjanya yang masif. Strategi pendalaman struktur industri serupa di dekade-dekade sebelumnya juga telah dilakukan oleh Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Hal ini tidak terjadi di Indonesia.
Sementara,, sambung Yusuf, Indonesia terlalu lama terbuai dengan keunggulan upah buruh murah dan lalai menyiapkan transformasi dan pendalaman struktur industri.
"Kita tak mampu menyiapkan SDM terlatih dan gagal melakukan transfer teknologi. Dan kini kita dengan sederhana menyalahkan upah buruh murah sebagai penyebab turunnya investasi dan deindustrialisasi," lanjut dia.
[Gambas:Video CNN]