Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) merosot pada perdagangan Kamis (13/10) di sesi yang bergejolak. Pelemahan terjadi seiring melonjaknya stok minyak Negeri Paman Sam yang melampaui ekspektasi.
Dilansir Reuters, harga minyak mentah West Texas Intermediate AS (WTI) turun 58 sen menjadi US$82,91 per barel. Harga sempat naik lebih dari US$1 per barel di awal sesi. Sementara, harga Brent berjangka ditutup naik 18 sen menjadi US$86,00 per barel.
WTI memangkas kenaikan setelah data pemerintah AS menunjukkan persediaan minyak mentah AS naik 10,2 juta barel pada pekan lalu menjadi 424,2 juta barel. Realisasi itu jauh lebih tinggi dari ekspektasi analis yang memperkirakan kenaikan 500 ribu barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tingkat pemanfaatan penyulingan yang lebih rendah dan impor bersih yang lebih tinggi menambah peningkatan minyak mentah.
"Laporan EIA pada akhirnya sangat bearish," kata Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger.
"Asumsinya adalah Anda akan membangun fasilitas penyimpanan di sini karena kilang telah ditutup (selama musim pemeliharaan)," sambungnya.
Produksi minyak mentah AS juga mencapai rekor 13,2 juta barel per hari dalam sepekan, data menunjukkan.
Mendukung harga minyak mentah berjangka sebelumnya, saham-saham dunia menguat dan dolar serta biaya pinjaman pasar obligasi tetap stabil menjelang data inflasi AS dan risalah pertemuan Bank Sentral Eropa yang akan menambah perdebatan mengenai arah suku bunga.
Kamis kemarin, data juga menunjukkan inflasi AS melambat. Hal semakin mendukung ekspektasi bahwa The Fed akan membekukan kenaikan suku bunga bulan depan.
Analis UBS Giovanni Staunovo menilai imbal hasil obligasi AS yang lebih rendah memicu selera risiko, yang pada gilirannya mendukung ekuitas dan minyak.
"Baik Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz dan Wakil Perdana Menteri Rusia Novak yang menegaskan kembali kolaborasi berkelanjutan mereka untuk menyeimbangkan pasar minyak sangat membantu," tambahnya.
Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan dalam sebuah wawancara TV Rusia bahwa kedua negara perlu bersikap "proaktif" dalam menciptakan stabilitas di pasar minyak, yang baru-baru ini dilanda kekhawatiran menyusul perang Israel-Hamas dapat mengganggu pasokan dari Timur Tengah.
Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak juga meyakinkan pasar, dengan mengatakan harga minyak saat ini menjadi faktor penyebab konflik Timur Tengah dan menunjukkan risiko konflik tersebut tidak tinggi.
Novak juga mengatakan pada Kamis bahwa Rusia akan melonggarkan larangan ekspor bahan bakarnya jika diperlukan. Pekan lalu, Kremlin mencabut pembatasan pasokan bahan bakar diesel melalui pipa.
Sementara itu, IEA menurunkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak pada 2024, menunjukkan kondisi ekonomi global yang lebih buruk dan kemajuan efisiensi energi akan membebani konsumsi.
Badan tersebut sekarang memperkirakan pertumbuhan permintaan pada 2024 sebesar 880 ribu barel per hari (bph), dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 1 juta barel per hari.
Namun, mereka menaikkan perkiraan permintaan 2023 menjadi 2,3 juta barel per hari dari perkiraan 2,2 juta barel per hari.
Sebaliknya, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) tetap berpegang pada perkiraan pertumbuhan permintaan yang relatif kuat tahun depan, dan memperkirakan akan mencapai 2,25 juta barel per hari.
IEA juga mencatat ekspor minyak mentah dan produk Rusia meningkat 460 ribu barel per hari pada September meski ada sanksi Barat dan janji Moskow untuk memangkas produksi bersama-sama dengan OPEC.