Sementara itu, Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti punya pendapat lain. Ia menilai selama ini muncul mispersepsi antara negara maju dan berkembang soal JETP.
Yayan menyebut JETP adalah komitmen yang tak bisa dihindari oleh negara berkembang. Pasalnya, negara seperti Indonesia harus mengejar target Nationally Determined Contribution (NDC).
Menurutnya, Indonesia jangan terlalu berharap pendanaan dari JETP. Yayan menegaskan yang paling penting dilakukan adalah menunjukkan komitmen transisi energi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan jika pemerintah ingin mengembangkan biofuel, berarti Indonesia harus punya teknologi dan pasar yang siap mensubstitusi bahan bakar fosil. Yayan menyebut perlu SPBU biofuel dengan harga keekonomian yang layak.
"Bukan mengandalkan bahwa dana JETP sepenuhnya dari pusat seperti foreign direct investment (FDI), salah itu. JETP bukan FDI dan framework-nya juga tidak seperti itu," tegas Yayan.
"JETP harus dimulai dari strong commitment antara national initiatives dengan international initiatives, di mana adanya collaborative dan transfer of technology. JETP harus economic viable bukan grant (hibah)," imbuhnya.
Yayan menyebut JETP mungkin bukan Internal Rate of Return (IRR). IRR adalah besarnya tingkat pengembalian modal yang digunakan untuk menjalankan sebuah usaha atau bisnis.
Namun, menurutnya program pendanaan dari negara maju ini bersifat Economic Rate of Return (ERR). Oleh karena itu, Yayan menepis pernyataan Jokowi jika JETP bisa melahirkan utang baru.
"Jadi, sebetulnya salah kaprah adanya utang baru. Utang baru itu terjadi jika proyek JETP stuck dan tidak mencapai benefit. JETP itu sifatnya ya self financing project. Kalau JETP kayak grant (hibah), rugi dong. Makanya seolah-olah jadi seperti utang. Oleh sebab itu, JETP harus dikawal dengan proses yang baik, teknokratik, dan tidak grasak-grusuk asal jadi," saran Yayan.
Ia menilai saat ini ekosistem di Indonesia juga masih kurang mendukung untuk menggolkan pendanaan JETP. Menurutnya, masih banyak regulasi krusial yang tumpang tindih dan tak mendukung transisi energi.
Yayan menyoroti tentang harga keekonomian, NDC, hingga Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang berbasis batu bara. Padahal, JETP harus clean energy investment sehingga perlu konsultan yang memang siap dan mumpuni mendorong valuasi dari national initiatives yang dilakukan pemerintah.
Menurutnya, investor akan masuk dan mendanai transisi energi melalui JETP jika Indonesia melakukan inisiatif awal. Setelah inisiasi yang dilakukan pemerintah, barulah para pemodal akan terpancing.
"Harus mengalokasikan dan melakukan efisiensi ruang fiskal kita agar lebih efisien. Misal, subsidi BBM, listrik, dan LPG. Efisiensi dari hal ini kita bisa kembangkan untuk infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) berbasis komunitas dan mengurangi risiko bisnisnya," tutupnya.
(skt/pta)