Misteri Pemerintah Pakai Acuan Lama Hapus Miskin Ekstrem di 2024

Dela Naufalia | CNN Indonesia
Jumat, 15 Des 2023 07:30 WIB
Pemerintah kukuh pakai ambang batas kemiskinan ekstrem lama demi poles citra Jokowi, 'amankan' kas negara hingga pikat investor global.
Pemerintah kukuh pakai ambang batas kemiskinan ekstrem lama demi poles citra Jokowi, 'amankan' kas negara hingga pikat investor global. (Foto: ANTARA FOTO/ANDRI SAPUTRA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah kukuh menggunakan batas garis kemiskinan ekstrem US$1,9 atau Rp29.461 per hari demi mencapai target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024. Padahal, Bank Dunia (World Bank) telah mengubah ambang batas tersebut menjadi US$2,15 atau Rp32.0235 per hari.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, serta akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menuturkan pihaknya dan Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat tetap menggunakan angka US$1,9 untuk batas garis kemiskinan ekstrem.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, saat ini tak ada sanksi bagi negara yang tetap menggunakan batas garis kemiskinan yang lama, yakni US$1,9 per hari. Karena itu, data angka kemiskinan ekstrem pun tetap valid.

"Bank Dunia, benar, mengubah jadi US$2,15. Tapi kami sepakat untuk target 0 persen ini tetap menggunakan US$1,9, sampai 2024," katanya dalam media briefing di Kantor Setwapres, Jakarta Pusat, Kamis (14/12).

Berdasarkan data BPS, jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 1,2 persen atau 3,1 juta orang per Maret 2023. Angka itu turun dibandingkan Maret 2022, yang mencapai 1,74 persen atau 4,79 juta orang.

Sementara untuk tingkat kemiskinan nasional, per Maret 2023 angkanya baru mencapai 9,36 persen. Padahal, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah 6,5 persen hingga 7,5 persen.

Suprayoga menuturkan jika pemerintah menggunakan acuan US$2,15 untuk batas kemiskinan ekstrem, maka jumlahnya bakal dua kali lipat dari yang saat ini 3,1 juta orang.

"Dari 1,12 persen bisa balik ke 2 persen lagi kita," ucapnya.

Lantas apa yang menjadi latar belakang pemerintah ogah mengacu pada ambang batas kemiskinan ekstrem versi terbaru dari Bank Dunia?

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat ada dua hal yang perlu dicermati dalam hal kemiskinan ekstrem.

Pertama, target pemerintah yang menargetkan kemiskinan ekstrem mendekati 0 persen di 2024. Menurutnya, pemerintah ingin meninggalkan peninggalan positif meskipun harus menggunakan batasan yang lama yang sudah tidak relevan lagi.

"Jika itu dinaikkan ke standarnya World Bank terbaru, saya yakin pemerintah meninggalkan legacy yang buruk tentang kemiskinan ekstrem," kata Nailul kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/12).

"Pemerintah saat ini butuh pencitraan positif agar legacy Pak Jokowi positif pula walaupun penuh 'kecurangan'," sambungnya.

Kedua, anggaran pengentasan kemiskinan ekstrem membutuhkan anggaran sekitar Rp493 triliun untuk perlindungan sosial (perlinsos) dengan batasan lama.

Apabila menggunakan versi yang baru dari Bank Dunia, kata Nailul, kelompok miskin 'biasa' bisa menjadi orang miskin ekstrem. Alhasil, anggaran perlinsos bakalan membengkak dan memberatkan pemerintah.

"Pemerintah tidak mau menggeser anggaran pembangunan infrastruktur, termasuk anggaran untuk IKN guna tambahan perlinsos. Apabila digeser, ancaman IKN gagal dibangun akan lebih besar," ungkap dia.

Nailul menyebut pemerintah juga lebih memilih untuk menambah anggaran pertahanan secara signifikan. Maka itu, ia menilai pemerintah saat ini lebih 'senang' menggunakan batasan yang lama.

Penggunaan batasan lama pun juga akan menimbulkan dampak negatif. Menurut Nailul, dampak dari penggunaan batas garis kemiskinan yang lama termasuk validitas penerima bantuan kemiskinan ekstrem akan banyak menimbulkan exclusion error, di mana orang yang seharusnya mendapatkan bantuan, tapi ternyata tidak.

"Jadi kesejahteraan yang diklaim oleh pemerintah semu. Hanya untuk memenuhi hasrat ataupun muka Jokowi seorang," ucap dia.

Lanjut ke halaman selanjutnya...

Sejahtera Semu Demi Pikat Investor Global

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER