Terkait pembebasan lahan pun pemerintah terkesan serampangan. Andri menyebut Perpres Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, secara esensi tak lebih dari 'Peraturan Percepat Perampasan Tanah Rakyat'.
Oleh karena itu, lanjut Andri, jangan mengira narasi hilirisasi ini sepenuhnya kepentingan negara ataupun kepentingan yang murni datang dari Indonesia.
Pasalnya, hilirisasi terutama kompleks-kompleks smelter nikel selama ini merupakan bagian dari proyek Belt and Road Initiative-nya China yang juga dijalankan di negara-negara berkembang lainnya, sebagaimana hilirisasi cobalt dan tembaga di Kongo ataupun investasi China lain di Afrika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di masing-masing negara dinarasikan sebagai senjata kemajuan nasional supaya negara kita menuju adidaya, tapi kalau kita lihat dari geopolitik dan alur modalnya dari atas, yang paling diuntungkan ya bukan kita," jelas Andri.
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita berpendapat diksi 'ugal-ugalan' adalah bahasa politisi untuk memberikan aksentuasi kepada kritik yang dilontarkan. Padahal, kata ugal-ugalan tersebut ukuran dan parameternya tak jelas.
"Jadi saya lebih memilih untuk mengatakan bahwa hilirisasi nikel masih memerlukan cukup banyak evaluasi di satu sisi dan membutuhkan inisiatif dari pemerintah untuk membenahinya di sisi lain agar lebih bisa dinikmati oleh Indonesia," jelas Ronny.
Ia memaparkan, secara statistik memang pelaku hilirisasi alias pelaku industrinya mayoritas adalah asing, terutama China. Sementara dari sisi penambang, mayoritas pribumi.
Dengan kata lain, secara kasat mata penikmat nilai tambah nikel adalah pelaku asing atau investor yang memiliki smelter (industri). Tentu mereka sangat diuntungkan.
"Padahal, mereka juga menikmati banyak insentif dari pemerintah untuk berinvestasi di sana, mulai dari tax holiday sampai pada kemudahan regulasi," tutur Ronny.
Namun, hal itu tidak terlalu bisa disalahkan sepenuhnya karena ada sebabnya terjadi. Pertama, dibutuhkan teknologi, yang pada umumnya Indonesia belum memilikinya. Sehingga, salah satu jalan untuk terjadinya transfer teknologi adalah dengan mengundang investor asing.
Kedua, modal untuk berinvestasi di hilirisasi sumber daya alam, seperti nikel, tidaklah kecil. Menurut Ronny, jumlahnya biasanya triliunan rupiah untuk satu smelter. Oleh karena itu, tidak banyak investor lokal yang mampu, walaupun banyak yang mau.
Jadi, 'PR' ke depan agar hilirisasi tidak didominasi oleh investor asing, pemerintah perlu menyiapkan banyak strategi. Ronny mengatakan taktik itu mulai dari alternatif sumber pembiayaan yang terjangkau, terutama dari perbankan lokal.
"Pemerintah juga harus memperjelas kesepakatan transfer teknologi dari investasi asing agar dalam jangka waktu sekian tahun, Indonesia pun bisa menguasai teknologinya," sabung Ronny.
Menyoal keterlibatan TKA, Ronny tak percaya dengan klaim Luhut yang menyebut jumlahnya hanya 10 persen hingga 15 persen saja. Ia yakin jumlah TKA di sektor hilirisasi lebih dari itu.
Ia menyebut masalah TKA ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal serupa juga terjadi hampir di semua investasi negara China di dunia, seperti Afrika Selatan dan Asia Tengah.
Konon, kata Ronny, keterlibatan TKA China itu memang merupakan salah satu kesepakatan saat negara itu akan berinvestasi. Ia menyebut yang menjadi persoalan adalah fakta bahwa pekerja asing itu ternyata menggarap pekerjaan yang sebenarnya bisa ditangani pekerja lokal.
"Nyatanya di kawasan Industri Morowali, misalnya, dari beberapa penelitian yang dilakukan, terbukti TKA sangat banyak dan sebagiannya mengerjakan pekerjaan umum yang sebenarnya bisa dikerjakan pekerja lokal," kata dia.
Namun di lapangan masalahnya jauh lebih rumit lagi. Pasalnya, sebagian TKA tersebut adalah pekerja dari perusahaan sub kontraktor dari China yang bukan merupakan firma di kawasan industri tersebut.
Perusahaan sub kontraktor tersebut mengerjakan proyek yang diberikan oleh perusahaan yang ada di dalam kawasan.
Berkaca dari realitas tersebut, menurut Ronny ke depan semestinya diperlukan aturan tambahan soal perusahaan sub kontraktor seperti itu. Dengan begitu, investor asing tidak sepenuhnya membawa pekerja dari negara asalnya selama pengerjaan proyek di kawasan industri.
"Jadi pendeknya, saya tidak mau menggunakan kata ugal-ugalan, tapi menurut saya, hilirisasi yang telah berlangsung masih memerlukan perbaikan dan pembenahan di berbagai sisi, agar hasilnya lebih banyak dinikmati oleh Indonesia dan masyarakat," kata Ronny.