Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap salah satu tantangan yang mengganjal proyek hilirisasi mineral, khususnya batu bara.
Hilirisasi sendiri merupakan proyek kebanggan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia berulang kali mengatakan hilirisasi dilakukan demi menciptakan nilai tambah bagi Indonesia.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan salah satu hambatan sulitnya meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi atau gasifikasi batu bara dalam negeri adalah karena terbatasnya teknologi untuk mengeksekusi program tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peningkatan nilai tambah ini masih berat. Begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, ada kelemahan besar, kita tidak punya teknologi, kita membayar terlalu mahal," ujarnya dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (15/3).
Irwandi menuturkan perusahaan batu bara dalam negeri seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang hendak melakukan hilirisasi batu bara dalam negeri terhambat lantaran teknologi.
Pasalnya teknologi itu dibawa oleh sebuah perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products. Sementara, Air Products belakangan mundur dari proyek hilirisasi yang bekerja sama dengan PT Kaltim Prima Coal dan PTBA.
"Air Products mundur kerjasama PTBA dengan KPC produksi metanol juga mundur. KPC switch jadi ammonia, PTBA cari mitra baru," jelasnya.
Hal itu menjadi bukti bahwa salah satu sebab utama sulitnya program hilirisasi batu bara sulit dilakukan di dalam negeri lantaran keterbatasan teknologi.
Irwandy mengatakan untuk komoditas tambang lainnya juga menghadapi tantangan yang sama, yakni sulitnya teknologi untuk melakukan hilirisasi. Bahkan, kata dia, teknologi yang tersedia dari perusahaan luar negeri diperlukan investasi yang besar.
"Misalnya nikel semua dari luar negeri teknologinya, 90 persen RKEF dari China, HPAL juga dari sana untuk baterai. Pertama kali masuk di Indonesia tahun 70-an di INCO itu dari Kanada sampai sekarang dipakai, lalu ada dari Jepang. Tapi mereka kalah bersaing harga," tandasnya.
Program hilirisasi batu bara yang digencarkan Jokowi hingga kini tak kunjung jalan. Terlebih, ketika perusahaan petrokimia asal AS, yakni Air Products and Chemicals Inc, mundur dari dua proyek gasifikasi batu bara di Indonesia.
Padahal, Jokowi membanggakan proyek gasifikasi batu bara ini karena bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) nasional, dan pada akhirnya bisa menghemat devisa negara.