ANALISIS

PHK Makin Menggila, Bagaimana Cara Mengeremnya?

Dela Naufalia Fitriyani | CNN Indonesia
Kamis, 22 Agu 2024 07:00 WIB
Pemerintah memiliki setumpuk pekerjaan rumah untuk menahan badai PHK yang menerjang di berbagai sektor.
Pemerintah perlu mendorong bangkitnya sektor manuktur untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Kerek Daya Saing

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan masalah PHK ini merupakan masalah kompleks. Ia mengungkap sebenarnya PHK yang terjadi di beberapa industri merupakan masalah yang terjadi bahkan sebelum pandemi covid.

Beberapa permasalahan seperti berkurangnya potensi pasar dalam negeri dan luar negeri, relatif masih tingginya biaya investasi, realisasi investasi di industri padat karya yang relatif masih rendah menjadikan serapan angkatan kerja yang besar menjadi semakin kecil. Yusuf menilai kombinasi dari faktor-faktor tersebut menjadi muara pada PHK yang terjadi di tahun ini.

"Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pun pada akhirnya hanya merupakan angka agregat makro karena kalau kita lihat secara mikro beberapa industri tertentu masih struggling untuk kemudian mengembalikan daya saingnya setelah pandemi terutama," ujar dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Cara investasi yang masuk pun meskipun beberapa di antaranya masuk ke sektor sekunder, namun tidak semua kemudian kebagian investasi terutama investasi di sektor industri padat karya," imbuh Yusuf.

Menurutnya, sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk melakukan intervensi terkait PHK di antaranya, pertama, pemerintah perlu memastikan daya saing industri, terutama yang saat ini tengah masif dalam melakukan PHK.

Untuk menjaga desain ini, pemerintah bisa memastikan persaingan di pasar antara barang dari industri tersebut dengan barang impor berada pada level permainan yang sama, sehingga barang impor yang bersifat ilegal ataupun tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati melalui regulasi pemerintah.

Kedua, intervensi dari sisi industri juga bisa menjadi perhatian pemerintah. Misalnya, dalam periode waktu tertentu pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak ataupun subsidi harga gas ataupun BBM yang termasuk ke dalam industri yang saat ini masih melakukan PHK.

"Ketiga, menjaga desain juga bisa dilakukan dengan memastikan indikator makro terjaga, setidaknya sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya," ucap Yusuf.

Ia menjelaskan bahwa indikator makro seringkali menjadi acuan industri dalam melakukan perencanaan. Sehingga, ketika indikator makro ekonomi itu tidak tercapai atau meleset, maka hal itu bisa menjadi tambahan faktor yang mendorong semakin lemahnya desain industri.

"Sehingga perhatian pemerintah terhadap indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi inflasi, dan nilai tukar rupiah itu perlu menjadi hal yang secara tidak langsung ikut mencegah industri agar tidak melanjutkan pemutusan hubungan kerja terutama kalau bicara jangka pendek," tutur dia.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menjelaskan sejumlah faktor penyebab terjadinya PHK belakangan ini. Pertama, melemahnya permintaan atas produk dan jasa buatan dalam negeri, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar ekspor.

Hal ini menurutnya membuat banyak perusahaan akhirnya harus mengurangi produksi, bahkan sebagian malah gulung tikar. Walhasil, pengurangan karyawan pun tak terhindarkan.

Kedua, kalah saing. Ia menilai lemahnya permintaan akibat penurunan daya beli masyarakat menengah ke bawah membuat produk-produk dengan jenis dan kategori yang sama dari pasar impor semakin menjadi pilihan konsumen. Pasalnya, harga lebih miring dibanding produk dalam negeri sebagai akibat dari kebijakan industri dan subsidi di negara asalnya.

"Dengan kata lain, di satu sisi permintaan menurun, di sisi lain produk domestik kalah bersaing dengan produk impor yang bisa diproduksi jauh lebih murah atau disubsidi agar lebih murah dari negara asalnya," jelas Ronny.

Ketiga, deindustrialisasi prematur akibat kebijakan industri pemerintah selama ini. Menurutnya, pemerintah terlalu fokus kepada komoditas dan sektor tertentu, sehingga membuat sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung produk-produk consumer goods dalam negeri menjadi terabaikan.

Ia menduga fokus pemerintah yang terlalu berlebihan kepada komoditas nikel dan hilirisasi nikel, baterai mobil listrik, mobil dan kendaraan listrik, serta infrastruktur membuat sektor manufaktur dan pertanian terabaikan. Akibatnya, banyak perusahaan manufaktur yang gulung tikar di satu sisi dan ketahanan pangan semakin rentan di sisi lain.

Keempat, pangkal dari persoalan tingginya angka PHK adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang kurang agresif di satu sisi dan kualitas pertumbuhan yang kurang baik di sisi lain.

Ronny menilai kegagalan pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan memperbaiki kualitasnya membuat sektor manufaktur yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar menjadi kurang berkembang.

"Meningkatnya angkatan kerja yang tak mendapat pekerjaan layak ditambah dengan bertambahnya tingkat pengangguran menjadi salah satu penyebab penurunan agregat demand," ujar Ronny.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER