Dalam acara Forum Rektor Indonesia beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo terkejut saat melihat jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya 0,45 persen dari total penduduk usia produktif (15-64 tahun), lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN yang mencapai 2,43 persen dan 9,8 persen di negara maju.
Maka dari itu, pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai lembaga terdepan dan terbesar dalam memberikan beasiswa S2 dan S3 untuk putra-putri Indonesia.
Sejak memberikan layanan beasiswa pada 2013, total telah ada 49.896 anak Indonesia yang menerima beasiswa LPDP per Agustus 2024. Hampir separuhnya atau 24.001 orang telah berstatus menjadi Alumni Beasiswa LPDP.
Rp154,11 triliun Dana Abadi di Bidang Pendidikan juga telah terkumpul dan jumlahnya masih akan terus bertambah agar memastikan makin banyak penerima manfaatnya.
Program Beasiswa Afirmasi dengan skema jalur Daerah Afirmasi, Keluarga Prasejahtera, Penyandang Disabilitas, dan Putra-Putri Papua menjadi upaya konkret dalam menjemput bola memutus hambatan struktural.
Dari program tersebut, anak-anak pedalaman di luar Jawa, kaum miskin kota, dan penyandang disabilitas dapat memiliki pintu akses pendidikan tinggi yang sama. Alhasil, tren positif ditunjukkan jumlah penerima program Beasiswa Afirmasi meningkat 78,9 persen dalam tiga tahun terakhir (2021-2023).
Akan tetapi, untuk dapat setara dengan negara maju masih dibutuhkan lompatan hingga 18 kali lipat untuk mengejar pertumbuhan Master dan Doktor. Di sinilah perlunya dukungan dari banyak pihak dan rakyat Indonesia agar LPDP punya nafas yang panjang menjalankan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Embrio pembentukan dana abadi pendidikan dicetuskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saat menengok pendidikan stafnya di Departemen Keuangan pada 2005 silam, hanya ada lima orang yang bergelar Doktor.
Padahal dibutuhkan kumpulan sumber daya yang mumpuni untuk mendesain berbagai kebijakan dan rumusan keuangan negara, terlebih pasca carut-marut peristiwa 1998. Reformasi internal dimulai dengan mendorong para staf melanjutkan S2 dan S3 di luar negeri.
Sejak 2009, embrio yang dirawat dan diupayakan keras itu mulai bernyawa saat satu triliun rupiah pertama berhasil disisihkan untuk skema dana abadi (endowment fund) yang kemudian terbentuklah LPDP pada 2011 yang diamanatkan untuk mengelola dan mengembangkannya.
Pendanaan riset justru hadir pertama kali menandai dimulainya layanan LPDP ke masyarakat pada 2012. Ini tak lepas dari landasan bahwa perkembangan riset dan teknologi juga menjadi faktor penting sekaligus ciri paling kentara yang membedakan kemajuan suatu negara.
Riset punya daya ungkit luar biasa dalam menciptakan entitas bisnis baru, menyerap tenaga kerja, efisiensi penggunaan modal, peningkatan produktivitas dan kemandirian industri. Adanya pendanaan riset yang ditanggung LPDP tentu adalah angin segar bagi para peneliti dan akademisi nasional para penerima manfaat.
Hanya saja, rasio anggaran riset terhadap PDB Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir terus konsisten kecil, hanya sekitar 0,28%. Masih kalah jauh jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia 1,15%, Thailand 1,21 %, atau rata-rata negara-negara middle income sebesar 1,91%.
Untuk bisa menjadi negara maju seperti Tiongkok, setidaknya rasio anggaran riset harus mencapai 2,08% (Laporan World Bank, 2023).
Perguruan tinggi kita sebagai "kawah candradimuka" pembangunan SDM dan riset ternyata kualitasnya juga masih tertinggal. Di antara 4000-an perguruan tinggi yang kita miliki, hanya ada tiga perguruan tinggi yang masuk dalam Top 300 dunia.
Berbeda dengan Singapura yang memiliki 2 perguruan tinggi di Top 15 dan Malaysia yang konsisten menempatkan 5 perguruan tingginya dalam jajaran World Class Universities yang rankingnya jauh di atas Indonesia (Top 200).
12 Tahun LPDP
Imbal hasil dari investasi LPDP selama lebih dari satu dekade dapat dilihat dari output para alumni. Dari 24.000 alumni yang jumlahnya akan terus bertambah, mereka telah tersebar mengabdi di sektor publik.
Sisanya berkarya pada sektor swasta, diterima di perusahaan-perusahaan besar atau membuka entitas bisnis baru/berwirausaha yang membuka lapangan pekerjaan.
Tata kelola dan kredibilitas yang dibangun kini turut menumbuhkan trust hingga ke negara maju, baik dalam pemberian beasiswa dengan skema co-funding maupun hibah pendanaan riset.
Dulu, negara-negara seperti Australia, Belanda, dan Prancis memberikan beasiswa kepada anak-anak Indonesia. Kini, bekerja sama dengan LPDP, beasiswa yang mereka berikan kemudian sifatnya 50:50, artinya semakin banyak yang dikirim untuk studi lanjut.
Tak hanya di level negara, kerja sama LPDP juga menyasar ke kampus-kampus internasional yang punya kredibilitas di bidang-bidang tertentu yang sejalan dengan prioritas pembangunan.
Dalam bidang riset, pendanaan program Riset Inovatif Produktif (RISPRO) LPDP telah menyalurkan 2.993 judul riset, 1.008 di antaranya telah dinyatakan selesai. Pendanaan riset kolaborasi juga terus dilakukan bersama BRIN yang diambil dari imbal hasil investasi Dana Abadi Penelitian (DAP).
Pada 2023 lalu, dana telah mengalir kepada 1.648 peneliti terbaik dengan total pendanaan mencapai Rp118,4 M melalui program Riset Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM).
Begitu pula dengan riset-riset kolaborasi bersama Kemdikbudristek di mana LPDP turut menyalurkan manfaat dalam beberapa program, di antaranya PRIME, UKICIS, INSPIRASI, dan Ekosistem Kemitraan Inovasi Berbasis Potensi Daerah.
Aspek kebudayaan, kreativitas, identitas, nilai luhur bangsa juga tak bisa dikesampingkan. Dipantik oleh pandemi COVID-19, diwujudkan Dana Abadi Kebudayaan (DAKB).
LPDP bertanggung jawab mengelola dan menyalurkan manfaatnya dengan memberi ruang ekspresi serta kegiatan kreatif lainnya yang dalam prosesnya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek.
Dukungan Dana Abadi Perguruan Tinggi (DAPT) mulai terlihat mampu mendongkrak kualitas perguruan tinggi nasional. Meski baru ada tiga perguruan tinggi yang berhasil masuk dalam TOP 300, namun perbaikannya positif dari tahun ke tahun.
Cakupan perguruan tinggi penerima manfaat juga bertambah, dari 16 Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) menjadi 21 PTNBH.
Keberpihakan anggaran juga terus membawa rapor Indonesia kian naik dalam berbagai kualitas.
Global Competitiveness Index (GCI) naik 10 peringkat, dari 44 ke 34 dari 64 negara, Global Innovation Index (GII) melompat 14 peringkat, dari 75 ke 61 dari 132 negara, dan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) naik 16 peringkat, dari 113 ke 75.
2045 yang ditargetkan sebagai Indonesia Emas tak lebih dari 20 tahun lagi. Momentum bonus demografi konon hanya hadir satu kali dalam sejarah suatu bangsa.
Puncak 68,3% populasi produktif bisa jadi peluang atau justru bencana. Jika Indonesia mau keluar dari middle income trap, tentunya tak bisa sekadar naik, tetapi harus melompat dengan bekal pendidikan tinggi dan riset berkemajuan.
Selama satu dekade terakhir, LPDP menjadi mercusuar yang menuntun ribuan cendekiawan dan inovator bangsa. Namun, perjalanan masih jauh dan harus ditempuh dengan keberlanjutan.
(info ekonomi/info ekonomi)