Jejak Upaya Masif Genjot Pajak Era Jokowi, Kini di Tangan Prabowo

Info Politik | CNN Indonesia
Selasa, 29 Okt 2024 17:03 WIB
Pemerintah menyiapkan strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah dinamika ekonomi global dan dalam negeri.
Pemerintah menyiapkan strategi untuk meningkatkan penerimaan negara. (Sekretariat Presiden).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) menargetkan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.

Target tersebut tumbuh 10,07 persen dari target APBN 2024 yang sebesar Rp1.988,8 triliun.

Sejak awal kepemimpinan Jokowi, reformasi pajak menjadi fokus utama dalam upaya meningkatkan penerimaan negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah-langkah seperti pemberian insentif pajak, reformasi administrasi perpajakan, dan peningkatan kepatuhan pajak telah menjadi bagian dari strategi untuk memperkuat basis pajak dan mengurangi kesenjangan antara potensi penerimaan dan realisasi pajak.

Reformasi perpajakan, kata dia, akan dilanjutkan melalui perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Tak hanya itu, kata Jokowi, perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan, serta pemberian insentif perpajakan yang terarah dan terukur.

Kendati, di tengah dinamika ekonomi global dan dalam negeri, tantangan dalam efektivitas kebijakan pajak tetap menjadi perhatian, terutama terkait dengan perubahan regulasi, pertumbuhan ekonomi yang belum merata, dan tantangan digitalisasi dalam perekonomian. Jokowi juga membeberkan target pendapatan negara dalam pidato tahunan terakhirnya, Agustus lalu.

"Pendapatan negara pada tahun 2025 dirancang sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun dengan tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik," kata Jokowi dalam pidato nota keuangan di Ruang Rapat Paripurna pada Agustus lalu.

Amnesti Pajak (Tax Amnesty)

Kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty merupakan bagian dari kebijakan pemerintah di bidang perpajakan.

Kebijakan tersebut guna memberikan pengampunan atau penghapusan pajak yang seharusnya terutang kepada wajib pajak (WP) dengan tidak mengenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan bagi WP.

Pada 2016, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang Pengampunan Pajak yang kemudian Jokowi meluncurkan Program Pengampunan Pajak.

Menurutnya kala itu, tax amnesty bukan semata-mata memberikan pengampunan pajak tapi repatriasi aset, yakni pengembalian modal yang tersimpan di bank luar negeri atau di cabang bank luar negeri ke Indonesia.

Diharapkan mereka nantinya bisa menaruh kembali asetnya di Indonesia seiring dengan perkembangan kerja sama perpajakan internasional di level G20, OECD, dan non OECD.

Pada penutupan program tax amnesty ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani saat itu mengaku tak puas dengan jumlah peserta tax amnesty. Sebab, jumlahnya jauh di bawah total WP yang mencapai 32 juta.

Modernisasi Penggabungan NIK-NPWP

Pada 2022, pemerintahan Jokowi melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2022 tentang NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi pemerintah mengatur format NPWP menggunakan format baru yakni 16 digit.

Berdasarkan aturan itu, wajib pajak yang tidak memadankan NIK dengan NPWP akan mendapatkan sanksi berupa kesulitan mengakses sejumlah layanan yang berkaitan dengan perpajakan.

Salah satu alasan pengintegrasian NIK-NPWP adalah untuk mendapatkan data akurat WP pribadi dan badan. Penggabungan ini dinilai sebagai langkah efektif untuk menertibkan administrasi perpajakan pada seluruh lapisan masyarakat WP.

Rasio Pajak

Jelang genapnya 10 tahun Jokowi, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) tak kunjung mendekati 12,2 persen sebagaimana janjinya pada Pilpres 2019.

Bila diperhatikan, tren penurunan rasio pajak justru terjadi kala penerimaan perpajakan yang pemerintah kantongi semakin tebal.

Saat awal Jokowi menjabat pada 2015, realisasi penerimaan perpajakan berada di angka Rp1.240,42 triliun dengan rasio 10,76 persen terhadap PDB. Sementara pada 2023 silam, perpajakan berhasil mengumpulkan Rp2.154,2 triliun, namun rasionya hanya 10,2 persen.

Sementara berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintahan tahun pertama Jokowi pada 2015 mencatatkan rasio perpajakan sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Angka itu turun dari 2014 yang sebesar 10,85 persen.

Penurunan berlanjut hingga 2017 ke level 9,89 persen, kemudian naik ke 10,24 persen pada 2018 sebelum kembali terjun menurun ke level 8,33 persen pada 2020, bahkan menjadi capaian terendah dalam dua era kepemimpinan Jokowi.

Jokowi kemudian mengeluarkan jurus Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias tax amnesty jilid II pada 2022. Program tersebut berhasil mengerek tax ratio menjadi 10,39 persen. Tanpa PPS, tax ratio 2022 hanya mencapai 10,08 persen.

Bersambung ke halaman selanjutnya...

Upaya Jokowi Dilanjutkan Prabowo?

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER