Sebelum dilantik sebagai presiden, mencuat wacana Prabowo bakal memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan dengan membentuk Badan Penerimaan Negara.
Pemisahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan rasio pajak yang bagai jalan di tempat dalam 10 tahun terakhir.
Dalam Pilpres 2024, Prabowo memang pernah berjanji memisahkan DJP dari Kemenkeu. Janji tersebut tertuang dalam '8 Program Hasil Terbaik Cepat' yang akan jadi fokus Prabowo-Gibran. Pemisahan itu mulanya direncanakan berujung pada Badan Penerimaan Negara (BPN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembentukan BPN tadinya dilakukan dengan niat menggenjot penerimaan negara, baik itu dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Namun, BPN dikabarkan batal dibentuk karena dianggap sangat kompleks. Ketua Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Anggawira mengatakan integrasi antar lembaga yang berbeda ini memerlukan waktu, koordinasi, dan penyesuaian birokrasi yang tidak sederhana.
Terlepas dari pembatalan pembentukan BPN, Prabowo mengangkat tiga wakil menteri keuangan untuk mendampingi Sri Mulyani bertugas sebagai Bendahara Negara.
Anggawira mengatakan dengan adanya tiga wakil menteri, Kementerian Keuangan bisa lebih lincah dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi global dan domestik, baik di ranah kebijakan fiskal maupun dalam operasionalisasi penerimaan dan pengelolaan anggaran negara.
"Dengan adanya tiga wamen, masing-masing dapat memiliki fokus yang lebih spesifik untuk menangani berbagai aspek tersebut. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan kebijakan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/10).
Selain itu, ada pula rencana tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dikerek menjadi 12 persen yang berlaku mulai Januari 2025. Kenaikan ini disebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Sementara itu, ada juga pajak karbon yang direncanakan berlaku mulai 2025 dan dikenakan atas aktivitas yang menghasilkan polusi udara. Tarifnya dipatok paling rendah Rp30 ribu per ton karbon dioksida yang dihasilkan.
Sebagai catatan, Indonesia menghasilkan setidaknya 1,3 miliar ton karbon dioksida ekuivalen sepanjang 2022. Dengan tarif paling rendah saja, pajak karbon berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp39 triliun.
Namun, sejumlah warga mengatakan jika terjadi kenaikan PPN pada 2025, itu akan memberatkan mereka. "Kebutuhan meningkat dan pajak naik, maka itu lumayan (memberatkan)"," kata Pauline salah satu warga.
Warga lainnya, Mario mengatakan kenaikan pajak hal yang tak disukainya. "Saya tak suka, tapi bagaimana pun ini demi pembangunan lebih baik." katanya.
Aksi lainnya adalah penguatan implementasi coretax administration system (CTAS). Sistem coretax tersebut telah dibangun sejak 2022 dengan realisasi anggaran senilai Rp977 miliar.
Ditargetkan berlaku mulai Januari 2025, sistem CTAS nantinya menyatukan seluruh layanan perpajakan ke dalam portal daring (online) yang bersifat tunggal.
Penyederhanaan administrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan secara sukarela di masyarakat. Sistem CTAS juga diyakini akan meningkatkan efisiensi otoritas pajak dalam mengawasi kepatuhan pajak.
Selain meneruskan kebijakan pajak era Jokowi, pemerintahan Prabowo juga telah menyiapkan sejumlah kebijakan pajak baru. Sampai saat ini, kebijakan pajak yang dikabarkan akan berlaku di awal pemerintahan Prabowo utamanya berbasis insentif.
Pertama, ada rencana memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) perusahaan dari semula 22 persen menjadi 20 persen. Kedua, pemerintah Prabowo juga berwacana menghapus pajak atas pembelian rumah dan properti.