Menurut BPS, ekonomi bawah tanah dibagi menjadi tiga hal. Pertama, kegiatan sektor informal dilakukan pelaku ekonomi yang bekerja sendiri tanpa dibantu orang lain. Kedua, bekerja dibantu pekerja keluarga dan karyawan tidak tetap. Ketiga, pekerja bebas pada sektor pertanian dan luar pertanian.
Sedangkan Vito Tanzi (1983) mendefinisikan underground economy sebagai pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan dan/atau tidak tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak (seperti golongan unreported economy pada definisi menurut Feige).
"Menurut Tanzi, beban pajak merupakan faktor penyebab terjadinya kegiatan underground economy," jelas kajian tersebut, dikutip Selasa (29/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai potensi pajak yang tidak dilaporkan dalam kegiatan underground economy (UGE) dicatat terus meningkat. Kajian ini menghitung pada periode 2000 hingga 2009 dengan rata-rata potensi penerimaan Rp20,55 triliun.
Potensi pajak ini dikelompokkan menjadi dua, pertama adalah pelaku usaha yang belum terdaftar pada kantor pelayanan pajak sebagai wajib pajak atau belum punya NPWP. Sedangkan yang kedua adalah para pelaku yang sudah memiliki NPWP.
BKF Kemenkeu menyebut kedua kelompok pelaku tersebut memiliki peluang untuk melakukan penggelapan pajak atau penghindaran pajak (tax evasion).
"Cara yang paling sering dilakukan agar pendapatan tidak mudah terlacak oleh pemeriksa pajak adalah dengan mengecilkan pencatatan penjualan atau penghasilan tunai. Media transaksi uang tunai ini seringkali digunakan karena relatif lebih sulit dilacak apabila dibandingkan dengan transaksi yang melibatkan pihak lembaga keuangan (bank)," sambungnya.
Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) Bank Indonesia juga pernah membahas ekonomi bawah tanah dalam paper terbitan Juli 2016.
Paper ini menyimpulkan selama periode 2001 hingga 2013 rata-rata besarnya underground economy di Indonesia sebesar Rp94.141,25 miliar atau Rp94,14 triliun. Ini sekitar 8,33 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia untuk setiap kuartal.
"Potensi pajak yang hilang akibat aktivitas underground economy di Indonesia periode 2001-2013 rata-rata sebesar Rp11.172,86 miliar (Rp11,17 triliun) atau sekitar 1 persen dari rata-rata PDB Indonesia per kuartal," jelas paper tersebut.
Paper itu mengutip klasifikasi underground economy berdasarkan penjelasan Edgar L. Feige. Ada empat golongan yang termasuk aktivitas ekonomi bawah tanah, berikut rinciannya:
1. The Illegal Economy
Ini adalah aktivitas ekonomi tidak sah di dalam pendapatan kegiatan ekonomi, di mana melanggar Undang-undang atau bertentangan dengan aturan hukum. Kegiatannya termasuk memperjualbelikan barang-barang hasil curian, pembajakan, dan penyelundupan sebagai tindakan kriminal yang melanggar UU.
Aktivitas ilegal ini juga mencakup kegiatan perjudian hingga transaksi obat bius dan narkotika sebagai tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum.
2. The Unreported Economy
Diartikan sebagai pendapatan yang tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Tujuannya adalah menghindari tanggung jawab untuk membayar pajak.
3. The Unrecorded Economy
Pendapatan yang seharusnya tercatat dalam statistik pemerintah, namun tidak tercatat. Akibatnya, terjadi perbedaan antara jumlah pendapatan atau pengeluaran yang tercatat dalam sistem akuntansi dengan nilai pendapatan dan pengeluaran yang sesungguhnya.
4. The Informal Economy
Ini adalah pendapatan yang diperoleh para pelaku atau agen ekonomi secara informal. Para pelaku ekonomi yang berada dalam sektor ini kemungkinan tidak memiliki izin secara resmi dari pihak yang berwenang, perjanjian kerja, atau kredit keuangan.
(skt/pta)