ANALISIS

Perlukah Iuran BPJS Naik Mulai Tahun Depan?

Dela Naufalia Fitriyani | CNN Indonesia
Rabu, 13 Nov 2024 07:30 WIB
Besaran kenaikan iuran BPJS tahun depan sebaiknya tak terlalu besar. Krisis keuangan JKN jangan dibebankan ke kelas menengah. (Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro)
Jakarta, CNN Indonesia --

Iuran BPJS Kesehatan sudah berulang kali disinyalir bakal naik pada 2025.

Terbaru, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan paling lambat pertengahan 2025 mendatang.

Usulan kenaikan disampaikan agar defisit keuangan yang mengancam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu bisa tertutup.

Ghufron memproyeksi pada tahun ini BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp20 triliun. Dirinya khawatir jika ancaman itu tidak teratasi, keberlangsungan JKN akan terganggu dan akan berpotensi mengalami gagal bayar pada 2026 jika iuran tak naik.

Menurutnya, usulan kenaikan disampaikan karena sudah dua periode ini iuran BPJS Kesehatan tak diubah pemerintah. Padahal, kenaikan iuran idealnya dilakukan setiap dua tahun sekali.

"Nanti akhir Juni atau awal Juli akan ditentukan, kira-kira berapa iuran, target manfaat, dan juga tarif (akan disesuaikan)," ujar Ghufron di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Senin (11/11), seperti dikutip detikcom.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perencanaan dan Pengambangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan sejak 2023, terjadi gap antara biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan dan penerimaannya.

Dia mengatakan rencana kenaikan iuran menjadi salah satu cara agar program JKN tetap berjalan di samping melakukan siasat lain mulai dari cost sharing sampai subsidi APBN.

"Sejak 2023, ada gap cross, artinya antara biaya dengan premi sudah lebih tinggi biayanya. Lost ratio yang terjadi di BPJS Kesehatan antara pendapatan premi dengan klaim yang dibayarkan bisa mencapai 100 persen. Ini yang membuat kondisi BPJS Kesehatan semakin tertekan dan mengancam kegagalan pembayaran klaim," tutur Mahlil.

Iuran BPJS Kesehatan memang tidak naik selama beberapa tahun belakangan ini. Jika dirinci, peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 membayar iuran Rp150 ribu per orang per bulan, Kelas 2 membayar iuran Rp100 ribu per orang per bukan, dan Kelas 3 membayar Rp35 ribu per orang per bulan. Iuran Kelas 3 sebenarnya sebesar Rp42 ribu per bulan, tetapi disubsidi pemerintah sebesar Rp7.000.

Lantas apa dampak jika Prabowo benar menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tahun depan?

Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita melihat kenaikan iuran memang bisa menjadi salah satu solusi dari defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Namun, logika tersebut tak bisa serta merta diterima begitu saja.

Hal tersebut dikarenakan BPJS Kesehatan adalah bagian dari bentuk intervensi negara dalam bidang kesehatan. Artinya, jika kondisi pendapatan masyarakat, terutama pekerja belum layak menerima kenaikan, maka mau tak mau negara harus menanggung.

"Memang begitulah salah satu logika BPJS, tidak melulu urusan untung rugi dan defisit," tutur Ronny kepada CNNIndonesia.com, Selasa (12/11).

Ronny mengatakan usulan kenaikan iuran perlu didukung oleh data yang kompatibel dari pemerintah.

Selain itu, hal-hal yang perlu dipertanyakan termasuk apakah kondisi pendapatan pekerja sudah siap menerima kenaikan, juga apakah kenaikan UMP tahun ini dan tahun depan bisa menetralisasi kenaikan iuran tersebut. Hal-hal itu harus dijawab terlebih dahulu dengan logis dan faktual.

Ia berpendapat angka kenaikan tak mesti harus menutup seluruh defisit BJPS Kesehatan sekaligus. Ronny juga mengingatkan jangan sampai kenaikan iuran dibebankan kepada seluruh peserta.

"Yang jelas, kenaikan iuran BPJS jangan sampai menekan daya beli pekerja, karena dalam dua tahun terakhir pendapatan pekerja dan kelas menengah sedang mengalami tekanan yang luar biasa. Jadi kenaikannya jangan terlalu tinggi. Harus benar-benar dihitung," ujarnya.

Jangan Bebankan Krisis BPJS ke Kelas Menengah


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :