Direktur Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan langkah pelarangan ini memang ditujukan untuk membatasi konsumsi gas LPG 3 kg karena banyak rumah tangga mampu ikut menikmati subsidi. Namun, ia menilai sosialisasinya terlalu mendadak.
"Cukup mengherankan kenapa kebijakan terkait BBM dan LPG sering tampak mendadak bagi masyarakat dan tidak terasa cukup bertahap," katanya.
Apalagi, biasanya masyarakat sulit ke agen karena jaraknya jauh. Sementara itu syarat untuk pengecer menjadi agen tampak terlalu berat bagi warung-warung yang pendanaannya terbatas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu perlu ada jalan tengah antara keduanya, misal ada kepastian adanya agen LPG dalam radius jarak tertentu yang terjangkau masyarakat, dan tugas pemerintah lah memenuhi prasyarat tersebut," katanya.
Jika pemerintah ingin pelarangan tetap dilaksanakan, Putra menyarankan harus diatur kembali secara jelas dengan jangka waktunya dan dilakukan secara bertahap.
"Untuk jangka panjangnya, lebih serius penggunaan kompor listrik dan jargas juga sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG kg," katanya.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengatakan pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg dengan larangan ini. Sebab, 68 persen konsumsi LPG 3 kg diperkirakan dinikmati kelas menengah atas, lalu sisa 32 persen adalah orang miskin.
"Karena LPG kita bergantung pada impor maka seiring kenaikan harga komoditas global, maka beban subsidi LPG 3 kg cenderung terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Maka mengendalikan konsumsi LPG 3 kg menjadi krusial bagi pemerintah untuk menekan subsidi LPG 3 kg," katanya.
Namun upaya pemerintah mengendalikan konsumsi LPG 3 kg dengan membatasi penjualan hanya oleh agen resmi Pertamina menurutnya adalah kebijakan yang sangat tidak berkeadilan serta tidak efisien. Ada dua alasan di balik penilaian Yusuf tersebut.
Pertama, dengan hanya bisa dibeli hanya di agen resmi Pertamina, maka akses konsumen ke LPG 3 kg akan menjadi sangat terbatas.
"Jumlah agen LPG di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu unit. Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan pedagang eceran yang selama ini melayani pembelian LPG 3 kg oleh konsumen yang umumnya adalah rumah tangga dan usaha mikro. Warung dan toko kelontong misalnya, yang selama ini menjadi pedagang eceran utama dari LPG 3 Kg, diperkirakan berjumlah lebih dari 3,9 juta unit," katanya.
Hal ini dinilai Yusuf sangat merugikan konsumen. Biaya mencari lokasi agen penjualan (searching cost) dan transportasi pulang-pergi ke lokasi agen yang lebih jauh (transaction cost) menjadi jauh lebih mahal.
Kedua, kebijakan membatasi penjualan LPG 3 kg hanya di tingkat agen juga berpotensi besar tidak efektif untuk mencapai target tepat sasaran. Syarat beli di agen resmi harus menyerahkan KTP atau KK untuk mencocokkan dengan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Di sisi lain, konsumen banyak yang tidak tahu syarat KTP ini. Lagipula, agen juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pencocokan data.
Yusuf mengatakan seandainya kebijakan ini dipaksakan, maka dipastikan akan menghambat konsumen yang tidak membawa KTP atau bahkan tidak memiliki dokumen kependudukan resmi.
"Ditambah dengan biaya transaksi yang kini jauh lebih tinggi, hal ini akan men-discourage kelompok miskin yang seharusnya paling berhak atas LPG 3 Kg bersubsidi," katanya.
Seandainya pun berjalan, sambung Yusuf, pembatasan dengan mekanisme ini juga berpotensi tidak efektif karena basis data kemiskinan seperti DTKS masih banyak bermasalah.
Dengan data yang banyak masalah, maka Indonesia masih menghadapi isu lama yaitu tingginya angka exclusion error di mana orang miskin yang berhak tidak masuk dalam DTKS, serta angka inclusion error di mana orang tidak miskin masuk dalam DTKS.
Yusuf mengatakan kebijakan yang lebih efektif dan berkeadilan untuk menekan beban subsidi LPG 3 kg sebenarnya adalah dengan pembangunan jaringan gas untuk rakyat secara masif. Pipanisasi gas akan menghasilkan efisiensi yang signifikan dalam distribusi LPG ke masyarakat dibandingkan melalui tabung gas seperti selama ini.
Yusuf mengatakan setidaknya akan ada tiga keuntungan besar yang diraih dari pipanisasi gas. Pertama, harga beli lebih masyarakat lebih murah, baik untuk LPG 3 kg maupun non-subsidi. Kedua, beban APBN untuk subsidi LPG berkurang. Ketiga, ketergantungan pada impor LPG turun. Hal ini sekaligus menghemat devisa yang akan mengokohkan stabilitas kurs rupiah.
"Andai pemerintah serius membangun pipa jalur distribusi dan pemasaran gas untuk konsumsi domestik disertai peningkatan kapasitas kilang, kita berpotensi menghasilkan efisiensi dan manfaat ekonomi yang signifikan dari turunnya marjin pengangkutan dan harga gas. Namun kita lebih suka mengimpor LPG. Hanya mafia impor gas yang tidak menghendaki adanya reformasi pipanisasi gas dan pembangunan jaringan gas untuk rakyat ini," katanya.
(pta)