BPS Akui Fenomena 'Rojali' Bisa Jadi Sinyal Masyarakat Tahan Belanja

CNN Indonesia
Jumat, 25 Jul 2025 20:10 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) melihat fenomena rojali sebagai sinyal masyarakat menahan belanja.
Badan Pusat Statistik (BPS) melihat fenomena rojali sebagai sinyal masyarakat menahan belanja. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Pusat Statistik (BPS) menilai fenomena 'rojali' atau rombongan jarang beli bisa menjadi penanda masyarakat sedang menahan konsumsi.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan BPS belum membuat survei khusus soal rojali. Namun, ia tak menampik gejala ini bisa menjadi penanda awal tekanan ekonomi.

"Fenomena rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial. Bisa jadi ada (karena kebutuhan) untuk refresh atau tekanan ekonomi, terutama kelas yang rentan,"  kata Ateng pada konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyampaikan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 memang mencatat kecenderungan masyarakat menahan konsumsi. Namun, ia berkata hal ini belum bisa disimpulkan berpengaruh ke kemiskinan.

Ateng menjelaskan fenomena rojali belum tentu mencerminkan kondisi kemiskinan secara langsung karena yang terdampak justru kelompok atas dan menengah.

Dalam konteks kebijakan, Ateng menilai rojali dapat menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah untuk tak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga.

"Rojali adalah sinyal penting bagi membuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah," ucapnya.

"Amati apakah yang rojalinya itu ada pada kelas atas, kelas menengah, atau rentan, atau bahkan yang di kelas miskinnya," imbuh Ateng.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menyatakan rojali kembali mencuat pada tahun ini. Menurutnya, tren ini terjadi akibat berkurangnya daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah.

"Sekarang memang terjadi ini (fenomena rojali) lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," kata Alphonsus ditemui di Jakarta Timur, Selasa (23/7).

Ia mencatat kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu, tapi jauh dari target 20-30 persen. Meski pengunjung bertambah, jumlah belanja tetap minim. Mayoritas masyarakat datang hanya untuk melihat-lihat atau belanja dalam jumlah kecil.

Alphonsus menilai pemulihan daya beli yang diharapkan terjadi menjelang Lebaran tidak tercapai. Ia menyebut hal ini juga dipengaruhi oleh pengetatan anggaran pemerintah dan dampak ekonomi global.

Ia menambahkan 95 persen pengunjung mal berasal dari kelompok menengah ke bawah, yang saat ini sedang mengalami tekanan ekonomi.

Sementara kelompok atas cenderung lebih hati-hati membelanjakan uang dan sebagian memilih berbelanja ke luar negeri. APPBI memperkirakan pertumbuhan omzet pusat belanja tahun ini masih akan positif, meski hanya satu digit atau di bawah 10 persen.

[Gambas:Video CNN]

(del/dhf)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER