Kemendag Bantah Fenomena Rojali Tanda Daya Beli Turun, Beri Bukti Ini

CNN Indonesia
Jumat, 01 Agu 2025 08:22 WIB
Kemendag membantah fenomena rojali alias rombongan jarang jadi bukti daya beli menurun. Tren ini diklaim muncul akibat perubahan pola belanja.
Kemendag membantah fenomena rojali alias rombongan jarang jadi bukti daya beli menurun. Tren ini diklaim muncul akibat perubahan pola belanja. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Perdagangan (Kemendag) membantah anggapan fenomena rojali alias rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan menjadi bukti daya beli masyarakat menurun.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan menyebut perilaku konsumen tersebut lebih merupakan bagian dari perubahan pola konsumsi yang semakin adaptif terhadap model bisnis digital.

"Daya beli itu kan ada peningkatan 1,9 persen year on year. Kalau dari data itu ya, artinya seharusnya daya beli kita enggak terganggu. Jadi saya bisa berargumen berdasarkan data itu saja. Ada peningkatan kan, berarti kita enggak bisa mengatakan itu jadi penurunan," kata Iqbal saat ditemui di Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (31/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Iqbal menyebut perubahan perilaku konsumen menjadikan mal kini tak cuma sebagai tempat berbelanja, tetapi juga sebagai ruang publik dan tempat rekreasi.

Hal ini disebut mendorong pelaku usaha untuk mengadopsi strategi omnichannel, yakni menjual barang tidak hanya melalui toko fisik, tetapi juga secara daring melalui platform seperti TikTok atau marketplace lainnya.

Iqbal menjelaskan pihaknya telah mengonfirmasi langsung ke pusat-pusat perbelanjaan seperti Thamrin City dan ITC Mangga Dua, yang mengalami transformasi konsep dan penataan ruang untuk meningkatkan traffic.

Di Thamrin City, menurut pengelolanya, 60-70 persen pedagang telah menerapkan sistem penjualan omnichannel, dan transaksi tetap berjalan normal meski kunjungan fisik tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.

"Kalau masalah traffic itu bukan yang enggak penting ya, tapi bukan menjadi perhatian utama. Yang utama adalah transaksinya jalan atau tidak. Dan itu kita konfirmasi langsung ke pedagang maupun jasa ekspedisi di lokasi," ujar Iqbal.

Ia menambahkan transformasi mal juga tengah terjadi, tak hanya di pusat perbelanjaan mewah seperti Grand Indonesia dan Senayan City, tetapi juga di strata seperti ITC, yang mulai menyediakan area makan dan hiburan untuk mendorong kunjungan dan konsumsi.

Sebagai regulator, menurut Iqbal, Kemendag lebih fokus pada hubungan antara pedagang dan pengelola pusat belanja serta pelibatan produk UMKM di ritel modern.

"Kalau dari aspek bisnisnya, ya biarkan bisnis itu mencari tempatnya masing-masing. Karena ini bisnis," ujarnya.

Kendati demikian, Iqbal tak menampik fenomena nongkrong tanpa belanja bisa memberikan dampak terhadap kinerja penjualan. Namun, ia menilai hal tersebut tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa daya beli menurun.

"Indeks Penjualan Riil (IPR) kita di Mei 2025 tumbuh 1,9 persen yoy, dan Juni diperkirakan tumbuh lagi 2 persen. Jadi kondisi perekonomian kita membaik," ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menyebut fenomena rojali mencuat kembali tahun ini karena menurunnya daya beli, khususnya di kalangan kelas menengah bawah.

Ia mengatakan meskipun jumlah pengunjung mal naik 10 persen dibanding tahun lalu, peningkatan tersebut belum mencapai target, dan tidak disertai lonjakan omzet.

"Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," ujar Alphonsus saat ditemui di Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (23/7).

Ia menjelaskan sekitar 95 persen pengunjung mal berasal dari kelompok menengah bawah yang terdampak pengetatan anggaran dan harga-harga kebutuhan yang meningkat.

Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan tinggi disebut cenderung berbelanja ke luar negeri akibat keterbatasan pasokan barang bermerek di dalam negeri.

APPBI memperkirakan pendapatan pusat perbelanjaan masih tumbuh, meski tipis, dengan pertumbuhan hanya satu digit di sepanjang 2025.

[Gambas:Video CNN]

(del/pta)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER